RENAISSANCE DAN DAD-NYA

Kesasar Ikut DAD 2003

Darul Arqom Dasar (DAD) adalah awal pengkaderan formal di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), dan dilaksanakan oleh pimpinan komisariat (Fakultas atau setingkat).

Saya masuk Universitas Muhammadiyah Malang (kampus putih UMM) tahun 2003, DAD juga 2003. Ketika itu komisariat Renaissance FISIP masih di jetis, dekat embong anyar. Letak yang cukup jauh untuk tahun itu, karena tidak banyak kendaraan pribadi seperti motor yang seramai sekarang ini.

Pernah lewat di situ, karena kos pertama saya di jetis juga, dekat masjid tapi lupa nama masjidnya (samping gapura Margoutomo). Melihat sebuah plang bertuliskan IMM FISIP. Saya sempat menduga, itu orang salah menuliskan nama. Mungkin hendak menulis UMM tapi menjadi IMM (beda tipis sih).

Mendaftar di jurusan Ilmu Komunikasi, saya mencoba peruntungan. Setelah pengumuman kelulusan, saya diterima di jurusan Ilmu Komunikasi. Rangkaian Pengenalan Studi Mahasiswa Baru (Pesmaba) saya ikuti juga. Waktu itu Ketua BEM FISIP mas Gama, kader Renaissance. Orangnya tinggi, ganteng dan tentu banyak disukai perempuan.

Singkat cerita, kos saya pindah ke bawah, dekat perempatan masuk terminal Landungsari atau di sebelah Minimarket Revolusi Soekarno. Kepindahan itu beberapa minggu jelang Pesmaba. Saat 2003, Pesmaba FISIP dilaksanakan di Sengkaling.

Aturannya ketika itu agak ribet. Setelah pembukaan Pesmaba di Hallypad dan dilanjutkan Kuliah Umum pak Amien Rais (Bagi-bagi kaos Amien Rais for Presiden, jelang pemilu 2004). Siangnya, kita harus langsung ke Sengkaling, membawa bekal yang sudah diatur panitia Pesmaba.

Oseng-oseng, tempe ukuran tertentu, susu, air mineral dan beberapa lagi, harus disiapkan. Setelah itu, kita bergegas naik angkutan umum yang ke arah mBatu dan turun depan Sengkaling. Hari pertama, perkenalan dan seterusnya, hingga jelang malam, ada tugas untuk besok. Tugas essay, membawa sejumlah makanan, dan datang harus sebelum jam 5 pagi. Lewat dari itu, kita dianggap terlambat, termasuk panitianya.

Empat hari Pesmaba yang melelahkan. Dengan berbagai kepenatan, capek dan lelah, lumayan beberapa hiburan di Sengkaling seperti bertemu dengan pemain-pemain Arema Malang seperti Kurnia Sandi, Putu Gede, Sonny Kurniawan dan yang lainnya. Tapi, ada juga saat-saat menengangkan. Saat itu, seorang Maba dianggap melecehkan panitia perempuan. Sontak, sikap Maba ini membuat panitia marah. Bahkan, seorang panitia ketika itu hendak memukul Maba itu. Untung dilerai.

Setelah masa-masa Pesmaba dilalui, masuklah masa perkuliahan. Awal perkuliahan, sepanjang pintu masuk UMM ramai oleh berbagai stand. Mulai dari organisasi ekstra kemahasiswaan sampai UKM dan LSO seperti Jufoc. Selebaran-selebaran organisasi seperti FMN, HMI, LMND menumpuk di tangan. Temanku, namanya Indra, orang Kupang tapi ortunya orang Bima.

“Nggak usah prend, jalan aja,” kata dia saat seseorang hendak menjelaskan maksud dari organisasinya itu. Aku ikuti saran dia. Hingga kami naik ke lantai 6 GKB 1. Dulu belum ada lift, karena lift GKB 1 baru dibangun 2005 jelang Muktamar Muhammadiyah.

Setelah jam kuliah berakhir dan menunggu jam kedua, kami hendak menuju ke tengah lantai 6 GKB 1 itu. Disitu banyak tempat duduk dan sering dijadikan tempat istrahat menunggu mata kuliah berikutnya. Mulai dari ngobrol biasa hingga sekedar merokok. Udaranya cukup sejuk, view mBatu dan Malang kota juga terlihat sempurna. Keindahan Malang yang membuat aku jatuh cinta sampai sekarang. Sampai saat ini, aku masih menganggap Malang adalah ‘kampung halamanku’. Karena di Malang lah aku dapat berbagai pengalaman, ilmu dan teman-teman, sahabat yang mematangkan aku dalam menggapai cita-cita.

Saat keluar kelas, seorang senior memanggil-manggil dan menarik tangan saya, Indra dan seorang teman kami lagi bernama Husni. Nah, Husni ini orangnya pendiam. Dia orang Gresik. Indra juga sebenarnya begitu, agak kalem.

Namanya senior itu adalah Widya. Dia juga kakak pendamping kelompok kami, kecil orangnya tapi agak cerewet, hehehe... Kita diminta ikut IMM yang standnya ada di lantai 6. Aku juga heran, kenapa hanya stand IMM yang di atas? Tidak bersama-sama yang lain panas-panasan di bawah?
Formulir telah diisi, dikembalikan dengan membayar Rp20.000 untuk 3 hari agenda. Surat izin untuk tidak masuk kuliah juga sudah diberikan. Kami bertiga hendak ikut DAD. Acaranya di Balai Peternakan Tlekung mBatu.

Setelah malam H-1 ditelepon, akhirnya disiapkan sejumlah peralatan. Dari almamater, Alquran beserta terjemahannya, baju hangat, perlengkapan sholat, kita siapkan. Berangkat dan berkumpul di Majid AR Fachruddin. Masjid yang luar biasa megah, indah dan sejuk saat berada di dalamnya.
Sekitar 30-40 orang kader ikut DAD. Berangkat menggunakan angkot ke Tlekung. Belum ada sapa diantara kami, kecuali aku, Indra dan Husni yang memang sudah saling kenal. Seorang lagi yang agak supel, namanya Huda, anak jurusan Ilmu Pemerintahan.

Tiba di lokasi, kelompok laki-laki sudah disiapkan dua kamar. Kami, dibagi dua tim. Sekitar 8 orang untuk 1 kamar. Aku, Husni dan Indra satu kamar. Diantara yang lainnya ada juga beberapa lagi, seperti Hutri, Hudi, Melky, Supriono alias Bobby alias Sueb.

Beda kamar kami dengan kamar sebelah. Kamar kami orangnya sholeh-sholeh. Setelah materi di tuntaskan di ruangan dan kembali ke kamar, seperti Hutri melanjutkan dengan mengaji. Sementara di sebelah begitu hebohnya. Mulai dari nyanyi-nyanyi hingga membaca doa dengan keras, aktivitas mereka. Heboh dan super asyik. Tapi, di kamar kami, orang-orangnya pendiam dan alim-alim.
Beberapa materi kita lalui. Hingga suatu pagi, saat materi pertama, tiba-tiba panitia DAD sibuk dan berlarian. Apa gerangan terjadi? Ada apa?

Usut punya usut, ternyata ada kejadian seorang peserta DAD, perempuan, namanya Hesi, terkunci dalam kamar mandi. Hingga setelah keluar, menjadi bahan tertawaan saat suasana sedang jumud dan membosankan.

Berbagai kejadian unik terjadi. Saat materi berlangsung, memang agak capek karena sudah malam. Beberapa peserta asyik mendengarkan materi yang disampaikan. Tapi, ada juga yang tak kuasa menahan kantuk dan tertidur. Salah satunya adalah Sukron.

Sukron asyik tertidur saat materi berlangsung. Pria asli Malang alias Aremania ini, tidak sadar dan asyik dengan lelapnya. Bahkan, dia tidak sadar ngilernya sudah mengalir deras hingga dagu. Sontak, tidak cuma peserta dan panitia yang ketawa, termasuk pematerinya.

DAD 2003 cukup sejuk. Pagi-pagi disajikan susu asli, dengan harga 1 sasetnya Rp500.
Peserta harus sudah bangun jam 3 dini hari, untuk sholat malam. Petugas yang membangunkan ada dua orang, mas Mujib (orang Madura) dan satu lagi perempuan, lupa namanya tapi orang Ternate. Setiap jam 3 pagi, kedua orang ini datang menggedor-gedor pintu dan berteriak membangunkan. Setelah masuk, mas Mujib dengan sekencang-kencangnya meniupkan pluitnya seperti wasit. Jengkel dan marah, karena kita baru selesai materi sekitar jam 12 malam.

Dengan mata sayup dan menahan dingin luar biasa, akhirnya kita berwudhu, sholat malam hingga subuh. Setelah subuh itulah, ada jeda, kita manfaatkan untuk tidur sejenak.

Pernah pada hari kedua, selesai materi hampir jam 1 malam. Diantaranya sudah terlelap sejak jam 12 karena keluar duluan dari ruangan menuju kamar. Saya keluar jam 1 dan langsung terlelap. Begitu pintu digedor-gedor lagi dan peluit dibunyikan, saya bilang saja enggak enak badan. Apalagi panitia tahu saya sampai jam 1. Amanlah saya hari itu, bisa tidur pulas sampai pagi.

Saat simulasi sidang cukup menarik. Ada tiga pimpinan sidang, simulasi oleh senior, salah satunya mas Salam, Ketua Umunm Renaissance saat itu. Sekjennya adalah mas Rusdi. Keduanya adalah perpaduan Madura-Sambas, yang beberapa tahun sebelumnya digoncang kerusuhan berbau SARA.
Sidang semakin memanas. Ada yang teriak ‘order’, ada yang teriak ‘klarifikasi’, ada yang teriak ‘justifikasi’, ada yang teriak ‘informasi’, suasana ramai, dan kebanyakan peserta hanya pelenga-pelongo melihat simulasi itu. Bahkan, suasan tegang memuncak saat seorang senior bernama mas Lalu Yan, teriak-teriak dan berdebat hebat dengan mas Jaki. Mas Jaki ini adalah Ketua Himakom saat itu. Kita hanya bisa melihat situasi ini. Yang akhirnya kita jumpai saat benar-benar terjadi di persidangan komisariat, korkom hingga cabang.

Malam terakhir, satu persatu digiring mengililingi jalur yang ditentukan di belakang. Pos pertama, saya ditanya oleh mas Yudi alias pak Pujon. Senior jurusan Kesos, orang Bengkulu tapi pintar bahasa Jawa, tidak pernah emosional, dan sekarang menikah dengan mantan Ketum IMM Ekonomi.

“Kamu tahu IMM lahir kapan?,” tanya mas Yudi.

Aku tidak menjawab, tidak tahu kapan dilahirkan. Jangankan tanya lahir, bilang Billahi fii sabilil haq fastabiqul khairot saja itu tidak bisa. Yang saya ingat dari sekian banyak pertanyaan saat itu adalah pendiri IMM. Saya hanya ingat Djasman Al Kindi dan Amien Rais.

Beberapa pos dilewati dengan berbagia pertanyaan yang berbeda-beda. Sampai di pos terakhir, pos peristirahatan sebelum masuk kembali ke ruangan. Saat itu, jam menunjukkan pukul 1 dini hari.
Kita dikumpulkan di sebuah tempat, tapi tidak di dalam ruangan. Seorang peserta bertanya apakah bisa merokok. Saya juga tidak tahu. Memang, situasinya enak untuk merokok. Rokok saya juga masih ada. Saya sarankan teman itu bertanya ke panitia yang menjaga.

Ada senior, angkatan 2002, namanya Lalu Yan. Dia orang Lombok, ada ‘Lalu’ nya. Kalau cewek pasti ada tambahan ‘Baiq’ dan itu adalah keturunan bangsawan. Mas Yan ini rambutnya gondrong dengan menggunakan kalung gede. Lengkaplah sudah prediksi kami kalau orang ini bertipe keras, jarang senyum (piss mas Yan. Yang kemudian hari jadi teman akrab kami, bahkan tidak segarang yang kami pikirkan sebelumnya), ia berdiri di depan kami.

 “Mas, kita boleh merokok nggak?,” tanya nya
“Kamu lihat aku sedang merokok apa?,” jawabnya sinis.

Teman tadi hanya cengar-cengir, sedikit marah dan jengkel.
Setelah tuntas semuanya, kami digiring lagi ke ruangan aula, tempat materi berlangsung. Duduk di bawah lantai beralaskan karpet dan saling berhimpitan. Ruangannya gelap gulita, sehingga kita tidak tahu siapa di sebelah kita.

Keheningan terpecah ketika ada lantunan lagu ‘Seusai Tahajud’ diiringi puisi dan terdengar sedih menangis tersedu-sedu. Apakah aku menangis mendengar itu? Oh tidakkkkkk!!!! Justru saat itu saya rebah dan tidur-tiduran. Enggak tahu kalau yang lainnya.

Malam itu juga, kami di bai’at satu persatu menghampiri bendera perisiai IMM. Menciumnya dan menandakan kami resmi menjadi anggota ikatan.

Setelah malam renungan itu, kita diperkenankan kembali masuk kamar. Tak kuat menahan kantuk, kami tertidur hingga pagi. Bangun, siap-siap berkemas untuk kembali ke Malang.
Beberapa teman terekam jelas diingatan. Ada Ajeng Galih, orang Malang asli. Ada Elly Julianti, orang Balikpapan, jilbaban dan cantik, bahkan sempat banyak yang naksir.

Ada Evi, mbak Hijra (angkatan 2001 tapi ikut DAD 2003), Hesi (jilbaber). Ada yang paling cerewet namanya Bella (cowok, preman, tukang balap liar, tapi nama kecewek-cewekan. Punya pacar namanya Indra, kebalik ya sebenarnya. Harusnya Bella itu cewek dan Indra itu cowok, tapi ini kebalik). Mereka di kamar sebelah menamakan kelompoknya dengan nama ‘Lontong Racing’. Jadi setiap masuk ruangan pasti teriak ‘Lontong Racing’. Selain Bella ada Joko Pitoyo, Sukron alias Zukrow, Fitra, Hudi dan banyak lagi.


DAD 2004 dan Mewahnya DAD 2005

DAD 2004, saya tidak sepenuhnya paham, hampir setelah beberapa bulan pasca DAD 2003, saya memilih menghilang. Kecewa dengan kondisi komisariat ketika itu. Kasus ini, selama saya di IMM, juga berlaku setiap periodesasi kepemimpinan di Renaissance, bahkan di semua tingkatan komisariat di Malang.

Kami (saya, Indra dan Husni) saat itu bukanlah kader yang spesial. Tidak tampan, tidak vokal dan cenderung pemalu. Berbeda dengan kader-kader lainnya yang begitu supel, cepat dan mudah bergaul, dan terlihat lebih dan lebih.

Datang ke komisariat Renaissance, di daerah Jetis, adalah jarak yang jauh. Dari kampus harus berjalan kaki ke arah embong anyar. Mau naik angkot, tanggung karena dekat juga. Cuma karena jalanan yang menanjak makanya terlihat begitu melelahkan. Apalagi kalau berjalannya siang hari, terbakar oleh teriknya matahari.

Sampai di komisariat, istilahnya kita ini dicuekin. Beberapa anak lainnya asyik berbincang dengan senior-senior. Beberapa lagi, sesama kader, asyik berbincang sendiri. Kami bertiga hanya planga-plongo. Hingga akhirnya Indra dan Husni malas ke komisariat.

Saya mencoba tetap bertahan dengan kondisi yang memang sudah membuat saya agak tidak nyaman lagi. Ikut rapat, beberapa agenda komisariat juga ikut, namun tetap saja seperti itu. Istilahnya, merasa sepi di dalam keramaian.

“Apalah guna saya disini,” gerutuku dalam hati.

Tekad yang baik di awal, ternyata tidak ada respon, tidak ada feedback yang baik. Hingga akhirnya, saya tidak aktif lagi, menghilang dan mencari jalan sendiri.

Saat DAD 2004, saya tidak ikut. Entah saat itu menjadi panitia atau tidak, saya tidak tahu. Saat 2004 Ketum Renaissance adalah mas Aan alias Tri Sulihanto Putra, mahasiswa Ikom angkatan 2001. Orangnya tinggi, asli Arema dan katanya sih ganteng, hehehehe....

Saya cuma dengar cerita dari peserta DAD, yang kebetulan teman sekampung saya di Bima. Saya diceritakan oleh Rustam Effendy (almarhum). Tempatnya yang jauh dari air sehingga buang hajat lumayan perjalanannya dan langsung di sungai.

Tapi cerita dia yang menarik adalah soal perempuan. Lagi-lagi perempuan yang kembali diceritakan. Di DAD itu, dia ketemu dengan peserta lainnya. Namanya Caca, anaknya pendek. Singkat cerita, di DAD itu mereka jadian. Ya mungkin cinlok, namanya juga anak muda.
Pasca DAD, belum seminggu mereka pacaran, akhirnya putus juga.

“Kenapa putus tam?,” tanya ku saat itu.
“Enggak gus, waktu itu salah lihat,” jawabnya enteng.

Aku hanya geleng-geleng kepala saja. Rustam, begitulah immawan satu ini, hingga saat dia digerogoti penyakit tumor, dan menghembuskan nafas terakhirnya. Kenangan bersama mu tak akan terlupakan frend. Semoga tenang di sana ya. Semoga istri dan kedua anak yang kau tinggalkan, menjadi anak yang sholeh, amiennn….

Almarhum adalah sosok yang tertutup dan tidak ingin masalahnya diketahui orang. Dia adalah orang yang susah, orang tuanya hanya bisa mengirimkan Rp250 ribu sebulan. Untung-untung dikirim sebulan sekali, kadang dengan uang segitu harus sampai 3 bulan. Kadang, kalau saya sudah dapat kiriman, saya hibahkan ke dia juga.

Saat tahu dia mengidap penyakit, dia sempat dirawat di Bali, RS Shanglah, sekitar maret 2013. Aku sempat berjanji untuk menjengkuk. Sayangnya, dia di Bali hanya sebentar. Padahal akhir maret saya ada agenda liputan di Bali, Kongres Luar Biasa Partai Demokrat yang mengukuhkan SBY jadi Ketum Demokrat.

Jelang beberapa bulan, teman di Bali mengabarkan kalau Rustam kembali di rawat di RS Shanglah. Aku sudah berpikir, nampaknya makin serius penyakitnya. Hingga aku berjanji untuk menelepon teman saat dia berada di sebelah Rustam. Aku ingin bicara dengannya. Saat waktu yang dijanjikan itu, aku sedang ikut agenda Presiden SBY ke Karawang selama 2 hari. Hingga hari terakhir, saking capeknya, aku lupa untuk menghubungi teman dan kakaknya Rustam di Shanglah.

Hingga keesokan harinya, pagi hari, aku dihubungi teman dari Bali kalau Rustam sudah tiada. Innalillahi wainnailaihi rojiun... aku sampai tidak percaya. Hingga kakaknya Rustam meyakinkan kalau Rustam sudah tiada. Selamat jalan kawan.


Megahnya DAD 2005 

DAD 2005 adalah DAD pertama kali saya aktif. Saya mulai aktif di komisariat awal tahun 2005. Satu hal yang membuat saya tertarik adalah aktivitas diskusi dan menulis di media. Dimotori oleh kakanda Mas Ilham, Joko Pitoyo, kakanda Mas Salam, mas Lalu Yan, mas Aan, mas Yudi, aktivitas diskusi rutin dilakukan. Hampir setiap minggu, pasti ada kader Renaissance yang tulisannya masuk di media baik lokal hingga nasional.

Lumayan, untuk media lokal kita mendapatkan Rp50 ribu dari kampus. Koran nasional kalau dimuat kita dapat Rp100 ribu. Mas Ilham pernah dengan uang hasil ini, digunakan untuk membeli komputer. Saat itu, dapat komputer sudah lumayan bagus karena jarang yang menggunakan. Cukup dengan pentium 1, sudah lebih bagus. 

Joko Pitoyo juga begitu. Dengan hasil uang yang diperoleh, bisa membeli komputer. Media langganan kita waktu itu seperti Posinfo, Malang Pos, Radar Malang, Surabaya Pos, Surya, Jawa Pos, Kompas edisi Jawa Timur.

Aktivitas diskusi ini, membuat kita terpacu untuk membaca. Karena, keinginan untuk tampil memberi gagasan tentu harus berdasarkan teori dan analisa yang kuat. Lambat laun, diskusi ini semakin menarik dan terkenal. Kita menamakan kelompok diskusi ‘Renassance Political Research and Studies (RePORT). Bahkan, RePORT ini menjadi kebanggaan PR 3 ketika itu. Beliau sangat senang karena di media-media dihiasi oleh tulisan aktivis RePORT. Kita bahkan pernah punya kas. Jadi, setiap yang dimuat, menyumbang ke RePORT dan setiap diskusi kita ada konsumsinya.

Gara-gara aktivitas ini, aku jarang ke kos yang terletak di belakang kampus. Hingga menjadi pengurus, Wakil Ketum Renaissance periode 2005-2006. Saat DAD, aku pertama kali aktif langsung mengurus DAD.

Jelang DAD 2005, kita memilih pindah komisariat dari Tlogomas 15 C no.19 bergeser ke Tlogomas 15B, kita namakan komisariat Goa karena tidak ada cahaya matahari yang masuk saking tersembunyinya.

DAD 2005, jelang acara berbagai persoalan muncul. Evaluasi dengan sangat keras dan nada meninggi, membuat tensi emosi juga ikut meninggi. Kader-kader baru yang belum tahu situasi saat itu, memilih untuk menghindar. Beberapa diantaranya ingin keluar. Apalagi, saat itu muncul sektarian antar kelompok dan antar jurusan, yang lumayan pelik.

Teman-teman jurusan Kesejahteraan Sosial (Kesos) merasa diasingkan dari Renaissance. Situasi makin meruncing, konflik yang susah diatasi. Terjebak dalam persoalan ini, kita lupa untuk mencari di mana lokasi DAD yang waktunya sudah semakin mepet. Kita harus mencari lokasi, karena komisariat yang lain juga melaksanakan pada waktu yang hampir bersamaan.

Seminggu sebelum pelaksanaan, kita belum ada tempat. Semua lokasi yang terjangkau seperti di Al-Furqon Bumuaji, juga sudah dibooking. Empat hari sebelum pelaksanaan, kita belum juga dapat. Hingga para senior terpaksa turun tangan untuk mencari tempat.

Didapatlah lokasinya. Lokasi ini cukup mahal, sewanya kalau tidak salah Rp1 juta.

“Uang dari mana?,” semua menggerutu seperti itu, tapi keputusan harus diambil.
Nekat ambil, tentu dengan konsekuensi yang lebih besar. Uang dari kampus paling hanya Rp200 ribu, jauh dari kata mencukupi.

Persoalan lainnya, adalah lokasinya. Tempat DAD ada di Balaidesa Sisir, tepat di belakang Mall Batu atau alun-alun Batu. Sangat tidak kondusif sebenarnya. Namun, itulah resiko yang harus diambil.
Pelaksanaan DAD dengan tempat yang mewah, ramai kendaraan, memang menjadi kendala. Kadang malah hari juga sering terkendala karena masih ada aktivitas di jalan raya.

Beberapa catatan yang masih teringat di DAD 2005 ini, karena saya juga selain sebagai Wakil Ketua Umum Renaissance, saya juga Ketua Instruktur. Jadi intens disemua materi.

Saat simulasi sidang, ketua sidang oleh mas Mujib (orang Madura). Suasana sengaja dibuat ribut. Hingga saat mas Mujib mengetok palu sidang, palu sidang itu patah. Semua terdiam, apalagi mas Mujib reaksinya tidak tersenyum. Hingga kemudian beberapa kami tersenyum dengan kejadian itu.
Namun harus diakui, DAD 2005 ini termasuk yang sukses, terutama dalam hal keberadaan kader dan militansinya.

Memang, di awal perjalanan kader 2005 ini, terjadi perbedaan pemahaman dalam menjalankan organisasi. Sebab, banyak juga kader yang baru masuk tapi mereka sudah mengenyam organisasi serupa seperti IRM atau IPM. Sehingga, melihat situasi komisariat, mereka menilai tidak seharusnya seperti itu.

Maka saat itu, muncul beberapa kader yang menilai, komisariat sudah menjadi ‘sarang’ hedonism. Perilaku kader lain, yang seangkatan mereka terutama, dianggap sudah melampaui batas dan terkesan hedon. Suatu hal yang tidak seharusnya terjadi pada seorang aktivis, apalagi kader persyarikatan. 

Begitu pemahaman sekelompok ini. Akhirnya mereka memilih ikut organisasi lain. Sebagai salah satu pengurus waktu itu, kita tidak bisa menolaknya. Kita tidak bisa membenci mereka. Hingga akhirnya, mereka terbilang ‘sukses’ berkiprah di luar komisariat.

Namun, beruntung soliditas kader-kader 2005 harus diakui sangat bagus. Komisariat menjadi dinamis, ramai dan kemampuan kita dalam mensukseskan lembaga intra juga samakin bagus. Agenda Korkom (kebetulan saya juga utusan di korkom 2006-2007), terbilang sukses. Cerdas cermat antar komisariat, kita sapu rata dari juara satu hingga juara tiga. Cuma lomba da’wah yang mungkin kita tidak bisa rebut. “Itu domainnya teman-teman FAI,” kata seorang teman. Ya begitulah cirri khas Renaissance.

Untuk final futsal, kita juga mampu menjuarai. Walau diwarnai insiden perkelahian antar kader Renaissance dengan kader Ekonomi, yang diselesaikan dengan sangat elegan, justru peristiwa ini membawa banyak manfaat.


Soliditas kader makin kuat. Hubungan dengan komisariat Ekonomi juga makin intim. Bahkan, beberapa kesempatan suksesi berikutnya, baik suksesi Korkom, BEMU, hingga Cabang, Renaissance dan Ekonomi adalah motornya. Kita sukses mengusung Ketua PC IMM Malang dari komisariat non-UMM, sejarah pertama mengusung Ketua Cabang dari luar UMM, yakni dari Komisariat IMM UM.

Kiri ke kanan: Khimawan (2005), Didit (2005), Mulyadi (2005), Zul (2005),
Gilang (2005), Fadh (2005), Joko (2003), Agus (2003). Foto saat naik gunung panderman

Kiri ke kanan: Fadh, Agus, Didit, Zul, Mas Aan. Touring menuju Bromo, negeri di atas awan


Salah satu agenda pelatihan organisasi di mBatu

Memberi arahan pada salah satu agenda pemantapan organisasi

salah satu game pada agenda pemantapan organisasi

Katanya dulu, ini untuk salah satu foto sampul album The Renaissance

Comments