Transportasi Massal (Tidak) Beretika?

Rabu 4 Mei 2016 lalu, seperti biasa berangkat kerja menggunakan moda transportasi massal commuter line atau KRL. Moda ini menjadi andalan saya dan istri, setelah kami memutuskan menempati rumah (cicilan puluhan tahun) di Depok, perbatasan dengan Citayam Bogor.

Seperti biasa, berangkat dari kediaman menggunakan motor menuju Stasiun Citayam, karena itu stasiun yang terdekat. Hampir jam 9 pagi, KRL sudah tidak terlalu padat.

Kebetulan pagi tadi, kereta yang akan memasuki Citayam berasal dari Stasiun Nambo menuju Tanah Abang, yang memang tergolong sepi. Sehingga saat naik dari Citayam, kereta terbilang sepi.

Perjalanan KRL sangat normal. Selama pemberhentian di beberapa stasiun, seperti Pondok Cina, Tanjung Barat maupun Lenteng Agung hingga Duren Kalibata, tidak terlalu banyak penumpang yang naik sehingga tidak perlu berdesak-desakan.

Desak-desakan di Manggarai (doc; pribadi)
Namun, suasana kontras terlihat saat memasuki Stasiun Manggarai, sebagai stasiun transit. Kebetulan, saya hendak ke Kantor Wakil Presiden (karena Presiden kunker ke Jateng dan Yogya). Namun saya turun di Manggarai, karena motor diinapkan di situ.

Memasuki stasiun, berjejer deretan penumpang yang sangat banyak, sepanjang jalur 5 yang menjadi tempat pemberhentian KRL. Kebetulan saya sudah bersiap turun dan berdiri di depan pintu.

Agak sedikit shock melihat pemandangan itu. Bahkan ketika hendak turun, saya dan beberapa penumpang sedikit kesusahan karena akses turun tertutup oleh penumpang lain yang berebutan naik.

"Beri jalan yang turun dulu woe," teriak seorang yang hendak turun.

Akhirnya, dengan sedikit dorongan untuk membuka jalan, saya dan beberapa yang turun bisa keluar dari jebakan rebutan naik para penumpang itu.

Setelah itu saya menuju ke depan, untuk melintasi beberapa rel. Kaget, karena ternyata tidak hanya di pintu yang saya turuni tadi penumpangnya padat. Ternyata, hampir semua pintu seperti itu.

Keamanan harus turut tangan atasi penumpang berdesakan (doc; pribadi)
Parahnya, beberapa pintu sampai tidak muat namun dipaksa sehingga dorong mendorong tidak terelakkan. Saya tahu apa yang dialami mereka yang di dalam, karena saya pernah dalam posisi mereka.

Bahkan, ibu-ibu yang mungkin diburu waktu, memaksakan diri naik walau terlihat sudah sangat sesak.

Terus ke depan, suasana lebih parah lagi terjadi di gerbong khusus perempuan. Mereka yang memaksakan naik, bahkan untuk menempatkan satu kakinya saja sudah tidak bisa.

Ibu-ibu paruh baya, terlihat memaksakan diri naik. Tidak mau kalah dengan perempuan muda yang mungkin masih berumur 20-an tahun. Bahkan seorang petugas keamanan yang turun langsung, rasanya tidak mempan untuk meminta sebagian tidak memaksakan diri naik.

"Ibu jangan paksa naik, ini gak bisa masuk," kata petugas itu.
Beberapa penumpang tidak bisa naik, di Stasiun Manggarai (doc; pribadi)
Saya tidak tahu apa yang terjadi berikutnya, hingga kereta itu bergerak menuju Sudirman, Karet, Tanah Abang maupun stasiun selanjutnya.

Situasi ini, sempat saya alami juga ketika pulang dari DPR. Naik dari Stasiun Palmerah (persis sebelah DPR), memang sepi karena arah sebaliknya yang ramai.

Namun tiba di Tanah Abang, kami yang ingin keluar saja susah karena di luar sudah antri dan berdesakan untuk masuk. Bahkan, panjang antrian sampai ke tangga atas tempat penyeberangan.

Harus diakui, itulah kondisi riil moda transportasi massal kita. Untuk menghindari kemacetan Jakarta yang super krodit ini, moda transportasi memang suatu keharusan untuk disiapkan.

Bayangkan kalau ratusan ribu penumpang setia KRL ini memilih menggunakan kendaraan pribadi, motor misalnya, bagaimana Jakarta apa nggak lebih macet? Bahkan mungkin bisa stagnan!

Bagi saya, perlu dipikirkan dan disediakan tidak hanya moda transportasi massa yang banyak tapi juga yang layak.

Sebut saja metromini atau kopaja. Saya pribadi bukan tidak ingin menggunakan itu, tapi karena kelayakan dan kenyamanan yang diabaikan.

Comments