Bagi Saya Golkar Yang Buang Ahok

Ini sekedar cerita dari pengalaman, pengalaman yang selintas teringat. Bukan karena motifasi mendukung dalam pilkada, yang ramai kini dibahas di jagad nyata hingga maya.

Sekitar tahun 2012, sebagai jurnalis, saya ditugaskan untuk menempati pos liputan di DPR/MPR/DPD. Setelah setahun lebih, ditugaskan di Balaikota DKI yang kala itu Fauzi Bowo sebagai Gubernur.

Sumber; www.thejakartapost.com 
Bertugas di DPR, tentu banyak anggota yang bisa menjadi sumber berita. Apalagi di tengah-tengah perkembangan teknologi yang terus semakin canggih, komunikasi dengan narasumber menjadi hampir tidak ada batasnya.

BlacBerry Massenger atau BBM, saat itu menjadi alat komunikasi yang sangat efektif bagi jurnalis. Selain untuk mengetik berita, juga bisa berkomunikasi via BBM dengan narasumber yang kita miliki kontak pin BB nya.

Untuk semakin memudahkan, beberapa kawan juga membuat grup BBM. Di dalamnya tentu ada juga anggota dewan, dan kami para jurnalis. Dari situlah, informasi, pernyataan-pernyataan pers yang menjadi bahan berita, di-share. Intinya, bahan berita begitu mudah dan cepat.

Dalam salah satu grup BBM kami saat itu, selain nama-nama tenar lainnya seperti Nurul Arifin (Golkar) dan M.Nasir Jamil (PKS), ada juga nama Basuki Tjahja Purnama atau Ahok.

Saat itu, seingat saya Ahok duduk di Komisi II DPR, membidangi pemerintahan dalam negeri. Dalam diskusi di grup itu, Ahok memang tidak terlalu aktif.

Hanya beberapa kali ia mengirimkan pesan broadcast BBM, yang menginfokan kapasitas BBM ia tidak cukup sehingga meminta yang lain untuk meng-invite ia di kontak yang lainnya.

Hanya sesekali Ahok muncul di diskusi group itu. Seperti, saat seorang teman meng-share gambar kawan jurnalis lain yang sakit parah, dan membutuhkan bantuan dana untuk berobat. Ahok saat itu, bertanya ke mana ia harus menyumbang.

Dalam beberapa kesempatan, saat itu memang jelang pilkada DKI 2012. Ahok seingat saya, beberapa kali mengirimkan broadcast BBM hingga ke group, yang meminta bantuan dan dukungan untuk maju di pilgub melalui jalur independen. Tentu yang dibutuhkan, adalah fotocopy KTP.

Pilihan Ahok ini, tentu realistis saat itu. Sebab, Golkar sendiri jangankan meliriknya, membicarakan ia untuk dijadikan kandidat calon saja, rasanya tidak akan diperhatikan. Saat itu tiga nama dari Golkar yang mencuat, dan sudah mengkampanyekan diri yakni Azis Syamsuddin, Tantowi Yahya dan Alex Noordin.

Beberapa minggu berselang, Ahok tidak bisa memenuhi ekspektasi untuk batas minimal KTP itu. Seingat saya, ia sempat 'mendeklarasikan' diri menyerah, mengingat syarat KTP tidak cukup untuk maju lewat jalur independen tersebut.

Dalam beberapa kali acara Partai Golkar di DPR, saya sempat menjumpai Ahok ikut nimbrung. Duduk di belakang, sendirian, bukan di bagian depan yang diisi kader-kader yang katanya elit dan punya potensi menjadi kandidat.

Seingat saya kala itu, Ahok duduk di belakang dan sisi kiri. Tidak ada rekan yang menemani, atau sekedar mengajak ngobrol. Hingga akhirnya acara selesai, dan sang ketua partai itu pulang dan kebetulan melewati jalan yang dekat Ahok duduk.

Ahok sempat menyalami sang ketua itu. Namun tidak ada respon hangat, hanya sekedar 'say hallo'.

Saat itu, muncul pemikiran saya kalau Ahok memang bukan siapa-siapa di Partai Golkar ini. Tapi beberapa kali saya menerima email dari Ahok, soal laporan keuangan ia per bulan sebagai anggota DPR.

Itu sekelumit yang saya ingat, 4-5 tahun lalu, soal Ahok. Kini, rasanya berbeda. Walau sudah mendeklarasikan diri sebagai calon dari jalur independen, partai-partai masih tertarik mengusungnya.

Tak terkecuali Golkar, yang kini dikomandani oleh Setya Novanto.

Dulu, Ahok bagaikan orang asing, tak diperhitungkan di Golkar. Kini, Golkar yang justru mendekat ke Ahok. Bak dia adalah 'kader yang kembali'. Bagi saya, Golkar lah yang mencampakkan Ahok saat itu.

Namun perlu diambil hikmahnya bagi kita, dalam kehidupan demokrasi. Tidak bisa kita mengklaim seseorang itu tidak bisa menjadi pemimpin, hanya karena ia belum diberi kesempatan.

Orang yang belum diberi kesempatan, bukan berarti ia tak bisa. Hanya kesempatan itu belum ada sehingga belum bisa dibuktikan kapabilitasnya.

Seharusnya partai politik bisa memberikan formula baru, bagaimana melahirkan kader-kader yang siap mengemban amanah jadi pemimpin. Tidak hanya pada rutinitas politik elit, politik dukung mendukung, tanpa ada kaderisasi yang baik. Wallahualam...

Comments