Wartawan Istana Tanpa Jokowi

Menjadi wartawan Istana Kepresidenan, yang harus mem-backup setiap agenda Presiden, terutama Presiden Jokowi, bukan perkara mudah.

Ritme kerja Jokowi yang tinggi, tentu harus kami ikuti. Apalagi wartawan online. Kenapa saya bilang ritme kerja Pak Jokowi tinggi? Setidaknya, sedikit membandingkan saat era Pak SBY (dua tahun terakhir periode SBY-Boediono liputan di Istana juga), ritme kerja Pak Jokowi sangat mobile.

Agenda Presiden, biasanya di share oleh Biro Pers, Media dan Informasi (BPMI) malam hari atau paling telat sepertiga malam (sholat tahajjud dulu mungkin).

Tapi, agenda itu bagi kami sangat tentatif. Artinya, bisa berubah last minute, ditambah, atau bahkan dibatalkan. Contohnya pada Jumat 9 September 2016. Agenda hari itu langsung padat, setelah ia melakoni agenda luar negeri dari KTT G-20 di China hingga KTT ASEAN ke-28 dan 29 di Laos, sepekan lamanya.

Jokowi mendarat di Halim Perdana Kusuma, Kamis sekitar jam 9 malam lebih. Tapi langsung tancap gas pada jumat. Agenda pagi, jam 09.00 langsung rapat kabinet. Siangnya, Jokowi mengajak Presiden Filipina Rodrigo Duterte ke Pasar Tanah Abang. Jam 16.00, upacara kenegaraan dan pertemuan bilateral dengan Duterte.

Namun di sela-sela itu, masih disisipkan agenda dadakan, pelantikan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) yang baru, Jenderal Budi Gunawan menggantikan Sutiyoso. Pelantikan berlangsung di Istana Negara, jam 17.30 WIB, di ruang yang bukan lazimnya dilakukan prosesi pelantikan (ini akan dibahas pada tulisan selanjutnya). Dan tentu agenda malam, adalah jamuan kenegaraan Jokowi untuk Duterte.

Awalnya susah bagi kami menerima itu. Tapi lama kelamaan, seakan menjadi hal lumrah dan bisa dimaklumi. Untuk ritme kerja di Istana misalnya, Jokowi bahkan bisa menggelar dua hingga tiga kali rapat kabinet dalam sehari. Rapat ini kebanyakan digelar siang hari, hingga sore bahkan malam.

Paginya, biasanya menerima tamu, atau bahkan memanggil menteri. Kalau Jokowi sudah di Istana, tidak pernah ada waktu sela. Biasanya, Presiden ke-7 RI ini sudah di Istana Merdeka Jakarta, lebih kurang pukul 07.00 atau lebih, dari kediamannya di Istana Bogor. Dan agenda pertama yang biasanya ada, dimulai jam 09.00.

Bagi kami wartawan, tentu harus hadir mendahului agenda itu. Agar kami tahu, siapa yang datang dan tentu ritual dorstop, wawancara todong narasumber.

Kadang agenda yang diberikan juga tertera 'intern' atau hanya untuk konsumsi internal, tidak untuk diliput alias rahasia. Lalu, apakah kami kemudian tidak ke Istana? Apakah rahasia berarti kami tidak boleh tahu? Tentu tidak! Semakin agenda itu internal, apalagi di hari-hari aktif (senin-jumat), justru kami harus lebih siaga lagi. Mata, telinga, dan rasa pesimisme kami harus ditambah.

"Pak Jokowi itu sering buat kejutan," kata seorang wartawan.

Agenda internal, sebenarnya membuat banyak diantara kami menjadi tidak tenang. Karena terkadang (bahkan lebih sering), persoalan-persoalan sensitif atau politis, dibahas.

Dan, pihak-pihak yang dipanggil Jokowi ke Istana, masuk tidak melalui pintu belakang Istana, tempat kami biasanya menunggu. Tetapi, lewat pintu samping atau Wisma Negara. Kalau sudah lewat di situ, susah bagi kami untuk bisa dorstop.

Seperti yang terjadi pada Senin 15 Agustus 2016. Sore itu, kabar berhembus soal nasib Menteri ESDM saat itu Arcandra Tahar. Sebuah mobil berplat belakang RFS, yang artinya pejabat negara, terparkir di dalam Wisma Negara.

Kami tidak bisa mendekat melalui pintu dalam. Sehingga, kami bergerak melalui gedung Sekretariat Negara mengarah ke depan, tidak jauh dari Istana Merdeka. Itupun, hanya bisa di luar pagar. Saat itu, masih kabar kalau Arcandra dicopot.

Hingga jelang maghrib, belum ada kejelasan. Dugaan makin kuat, karena ada Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly. Praktis, sore itu, jelang peringatan 17 Agustus, kami berjaga-jaga di dekat Wisma Negara. Apa yang terjadi? Tidak tahu.

Menunggu di seberang Wisma Negara
Hingga akhirnya, sekitar pukul 19.00 WIB, kami diberi tahu akan ada keterangan pers di Kantor Presiden pada pukul 21.00 malam itu juga. Tentu ini penting.

Dan yang pasti, di luar agenda resmi. Benar saja, Arcandra dicopot. Tapi satu hal yang penting, bagaimana kerja wartawan Istana, yang dituntut tingkat pesimisnya lebih tinggi, lebih tajam dan harus tetap siaga ada atau tidak ada agenda Jokowi.

Jokowi juga, secara tiba-tiba bisa mengunjungi suatu tempat tertentu atau blusukan. Membagi-bagikan buku hingga seragam sekolah atau kaos, sudah sering dilakukan. Atau, beberapa kali mengajak wartawan Istana makan siang bersama (ini juga akan ditulis di tema tersendiri).

Lalu, bagaimana kalau Jokowi ke luar kota atau ke luar negeri? Apakah kami yang tidak diajak juga tidak hadir di Istana?

Suasana bioskop/pressroom sementara Istana saat Jokowi kunker ke luar kota. Foto diambil Rabu 14 September 2016

Memang banyak rekan wartawan lain yang memilih liputan di tempat lain. Ada yang liputan agenda Wakil Presiden, ke DPR, kementerian-kementerian, atau agenda diskusi dan keterangan pers lainnya.

Beberapa juga, masih tetap standby di Istana. Termasuk saya dan beberapa rekan lainnya, biasanya mengisi kanal berita sesuai tugas masing-masing. Saya lebih sering mengisi kanal politik, telepon narasumber baik anggota DPR atau pengamat.

Kadang di Istana juga, kami meminta waktu Sekretaris Kabinet Pramono Anung atau Jubir Presiden Johan Budi Sapto Pribowo. Lebih sering mereka menerima kami di kantornya. Keduanya juga paham, bahwa kami tetap harus ada berita di Istana walau tidak ada Jokowi.

Bagi wartawan online dan cetak, masih bisa mendapatkan berita dari kunjungan Jokowi melalui siaran pers oleh Biro Pers Media dan Informasi (BPMI). Ini terobosan baru yang dilakukan. Sehingga, setiap agenda Jokowi, tetap ada berita. Bahkan, termasuk foto dan video.

Kadang muncul lelucon, teman-teman wartawan yang ikut kunjungan kerja Jokowi ke daerah-daerah, tidak akan bisa tenang. Karena, mereka harus adu cepat dengan rilis berita dari BPMI. Terutama wartawan media online.

Di luar itu semua, saat Jokowi ke luar kota atau luar negeri, tentu ritme kerja kami menjadi lebih rileks. "Pagi masih bisa berenang dulu, siang baru ke Istana," kata seorang wartawan.

Di Bioskop Istana (istilah bioskop adalah pressroom), teman-teman menghabiskan waktu hingga sore atau malam tiba.

Main PS saat senggang
Ada beberapa teman yang main PS. Dari beberapa unit komputer yang disediakan, satu unit diinstal PS untuk hiburan kala senggang.

Oh ya, dinamakan bioskop, karena ruang pressroom Istana (yang kini masih direnovasi), awalnya merupakan bioskop benaran saat Soeharto masih menjadi Presiden. Di ruang itu, Presiden Soeharto menghabiskan waktunya kala ia ingin menonton. Kini, ruangan itu digunakna untuk pressroom, dan nama bioskop tetap digunakan hingga kini.


Rileks sambil nonton film online
Fasilitas wifi di bioskop yang kencang, memang sangat memudahkan kami. Bayangkan, di sini selain wartawan online dan cetak, juga wartawan televisi dan wartawan foto.

Bayangkan kalau secara bersamaan menggunakan fasilitas wifi untuk mengirim foto, mengirim video dan berita tapi wifi-nya lemot.

Sehingga kendala itu, bisa teratasi meski kadang-kadang bioskop sangat krodit, penuh dengan wartawan.

Live streaming, hingga menonton film via layanan portal khusus film, mengisi waktu kami ketika Jokowi tidak berada di Istana.

"Era Jokowi, kalau lagi padat maka padat banget. Tapi kalau santai, ya kayak begini,".

Comments