Kami dan Cerita (Hari) Guru


Pagi ini, 25 November, bagi saya penuh kejutan. Pertama, turun dari Stasiun Juanda dan berjalan menuju Istana, tiba-tiba melihat puluhan polisi sudah standby, lengkap dengan tameng mereka. Jadi demo 2511 kah? Bukannya aksi 212? (2 Desember).

Ah, tapi bukan itu yang dibahas. Membuka medsos, tiba-tiba banyak ucapan selamat Hari Guru, dengan berbagai kalimat yang manis dan penuh falsafah.

Sedikit bercerita tentang guru, di keluarga hingga tradisi masyarakat Bima (dou Mbojo). Dari garis bapak, hampir semua berprofesi sebagai guru. Kalau tidak guru, ya petani. Sementara dari garis ibu, lebih bhineka. Ada yang guru, petani, swasta hingga pengacara.

Tetapi, bapak dan ibu adalah seorang guru. Sehingga saya dan kedua adik saya, dibesarkan dalam lingkungan guru. Makanya, sebenarnya orangtua terutama Ibu, saat akan selesai SMA sangat berharap saya menjadi guru.
Keluarga guru, semakin diperkuat dengan lingkungan yang menjunjung tinggi guru. Pelajaran berharga yang saya dapat saat di Bima (tepatnya Desa Dena Kecamatan Madapangga), bagaimana falsafah guru itu luar biasa penghargaannya dan dijunjung sangat tinggi.

Ada falsafah begini "Dahulu nemba guru kemudian nemba ruma" yang terjemahan langsungnya, "Lebih dulu menyembah guru baru menyembah Tuhan". Tentu menyembah di sini bukan bermakna seperti menyembah dalam sholat atau keyakinan keberagamaan.

Tetapi, guru menjadi pionir bagi masyarakat, guru menjadi pintu bagi setiap orang untuk mengenal dan memahami Tuhan, Allah SWT. Falsafah itu wajib kami ucapkan usai belajar mengaji, di kampung kala itu.

Penghargaan terhadap guru, juga terlihat dari struktur sosial masyarakatnya. Dalam istilah Ilmu Komunikasi, ada yang namanya pemimpin opini. Dalam pemahaman klasik, untuk merangkul suara mayoritas di suatu masyarakat, rangkul lah pemimpin opininya. Dengan begitu, ia akan mendapat dukungan banyak. Ini masih sering digunakan di beberapa tempat, termasuk dalam hal pemilu.

Pemimpin opini ini biasanya yang dianggap memiliki kharisma tinggi. Sehingga ujarannya, maklumatnya, hingga petuahnya, didengar. Ia bahkan sering menjadi pemutus akhir dalam sebuah perselisihan di wilayahnya tersebut.

Begitu juga dengan struktur masyarakat di Bima, terutama di kampung saya. Walau tidak semua guru bisa menjadi pemimpin opini, namun yang menjadi pemimpin opini sudah pasti adalah guru. Sementara pemuka masyarakat/agama disematkan kepada para alim ulama.

Guru di kampung kami, termasuk memiliki strata sosial yang tinggi. Walau untuk bicara soal penghasilan, jaraknya langit dan bumi. Ia diberi strata sosial yang tinggi, tapi penghasilan yang minim, begitu maksudnya.

Maka ketika kami kecil, tak jarang banyak guru yang berhalangan atau tidak efektif memberi pengajaran karena musim panen atau tanam. Biasanya, terutama saat SD, sepulang sekolah kami diminta membantu guru di sawah, walau saya sendiri jarang ikut hehehehe...

Sehingga, guru bukan menjadi profesi tunggal untuk mencari nafkah agar asap di dapur tetap ngepul. Bahkan bisa dibilang, waktu mereka habis untuk di sawah daripada mempersiapkan materi untuk mengajar.

Untuk itu juga, ketika itu saya enggan memilih ikut kemauan orangtua untuk menjadi guru. Pikirku, sudah gaji kecil, peluang kecil (kalau jadi guru di kampung), masa seketurunan menjadi guru?!. Walau akhirnya, sempat juga memberi pengajaran soal jurnalistik di sekolah kejuruan Muhammadiyah di Malang, jelang-jelang akhir kuliah, meski hanya sebentar.

Tentu karakter guru di setiap wilayah, akan berbeda. Apalagi membandingkan antara kota dan desa. Guru di kota, skill atau keahlian adalah utama. Sementara di desa, seorang guru harus bisa menjadi kharisma.

Guru di desa bukan sekedar mengajar ilmu sebagai syarat naik tingkat. Tetapi, juga mengajarkan tentang etika, perilaku, dan nilai-nilai keluhuran yang kental.
Teringat saat SMP. Ada seorang guru matematika, namanya Pak Abdul Wahab (Semoga beliau selalu dalam lindungan Allah SWT). Beliau guru senior, dengan janggut putih khasnya. Ketika kami jenuh dengan pelajaran matematika, ilmu-ilmu agama dan etika beliau ajarkan ke kami. Itu di luar tupoksi Pak Wahab. Tetapi, itulah guru, menginginkan anak didiknya tidak sekedar pintar ilmu, tapi baik akhlaknya, baik budipekertinya.

Ada lagi seorang guru kami ketika SMP, bernama Pak Khalik, kami memanggilnya Pak Helo (kalau di Bima nama seperti Said dipanggil Seo, Yunus dipanggil Yanu atau Neo, dll).

Sosok Pak Helo ini terkenal keras, terkadang main fisik. Tentu dengan alasan yang kuat kenapa harus fisik.

Pernah suatu kali, kami sedikit gaduh saat beliau sedang introgasi beberapa rekan mengenai materi yang pernah ia ajarkan. Ada enam murid kena tampar beliau, termasuk saya dan seorang teman yang sebenarnya tidak ikut dalam kegaduhan itu tetapi karena bangku di depan dan belakang yang gaduh, akhirnya kena imbasnya.

Tamparan beliau termasuk adil, merata. Tidak hanya laki-laki, tapi perempuan juga pernah kena tampar. Apalagi kalau sudah berbuat onar, tamparan beliau pasti akan melayang ke siapapun dia.

Tidak ada yang protes, apalagi melapor ke polisi. Karena bagi kami, guru adalah orang yang wajib dihormati. Mereka tidak hanya memberi ilmu, tapi memberi pelajaran hidup, dalam sisi-sisi tertentu ada tauladan dari mereka yang mungkin tidak bisa mereka ucapkan tapi ingin mereka tunjukkan.

Karena didikan keras Pak Helo, kami menjadi giat belajar kalau akan masuk materi beliau. Bagi saya, itulah guru. Guru bukan sekedar pemberi ilmu, tapi juga pemberi tauladan hidup, untuk kita meniti kehidupan yang lebih kompleks ke depannya.

Saya tidak bisa membuat kata mutiara menggambarkan Hari Guru. Karena mereka tidak butuh itu. Hargai mereka, makmurkan mereka, dan tinggikan martabat mereka, itu sudah!!!!

Fastabiqul khairat

Comments