Penghujung Desember 2016, sore hari itu masyarakat Kota Bima dikejutkan dengan banjir yang tiba-tiba datang. Perlahan mengalir deras menembus ruang-ruang pribadi di kediaman mereka.
Seketika merendam dan menghanyutkan barang-barang seisi rumah. Hingga kendaraan-kendaraan, tidak sedikit yang terseret ikut arus air akibat banjir yang deras itu.
Hujan ekstrim selama beberapa hari, memang sempat terjadi. Namun banjir bandang yang meluluh lantahkan lebih dari separuh wilayah Kota Bima itu, wajar untuk membuat terkaget-kaget.
Entah berapa puluh tahun atau berapa ratus tahun, atau mungkin ini pertama kalinya banjir bandang sebesar ini terjadi? Entah, karena ilmu saya juga belum sampai jauh ke sana.
Kota Bima, adalah bagian dari perjalanan hidup saya. Tiga tahun hidup kos untuk menuntut ilmu di SMAN 1 dari 2000-2003, meninggalkan segudang kenangan yang tentu sangat membekas. Sehingga, ketika banjir bandang itu datang dan meluluh lantahkan beberapa lokasi yang melekat di otak saya, kesedihan muncul.
Mereka yang terpaksa mengungsi, kehilangan kebutuhan primer seperti sandang dan pangan, bahkan hanya mengenakan pakaian di badan selama tiga hari dan dalam keadaan basah, semakin menimbulkan kesedihan. Tidak perlu disinggung juga seperti apa keadaan keluarga yang sudah menetap di beberapa wilayah di Kota Bima.
Belakangan ini, pasca banjir surut dan menyisahkan lumpur dan kotoran yang ikut terbawa, analisa-analisa penyebab banjir bermunculan. Tentu media maindstream lokal dan media sosial, menjadi tempat menumpahkan analisis itu.
Banyak menyebut, karena cuaca ekstrim sehingga volume air hujan lebih banyak (analisa ini didukung citra satelit dan rilis BMKG dan BNPB), hingga penggundulan hutan dari wilayah Sape dan Wawo.
Namun yang sedikit mengusik saya, analisis yang menggunakan pendekatan ketuhanan. Ini menarik, karena Bima atau dana Mbojo, dipercayai memiliki kekuatan unsur ghaib itu juga ikut masuk dalam kepercayaan masyarakat.
Kekuatan ghaib ini adalah mengenai 'campur tangan' Tuhan di dalam setiap peristiwa, termasuk banjir bandang ini. Bima dalam sejarahnya, memang sangat religius. Setelah sempat lama berstatus kerajaan dengan berbagai kepercayaan animisme dan dinamisme, perlahan berubah menjadi kesultanan setelah Islam masuk. Bahkan termasuk Islam taat.
Nah, analisa dengan pendekatan ketuhanan itu menyebutkan, banjir bandang di Bima adalah peringatan dari Tuhan, Sang Khalik. Penilaian dari beberapa pihak baik di Bima maupun dou Mbojo (orang Bima) yang sudah menetap di daerah lain tetapi besar dan kecil di Bima, ada perubahan kultur.
Kultur Bima dan Islam adalah identik, menyatu. Walau masih ada yang memegang tradisi lama sebelum Islam masuk. Maka kultur yang berubah itu, berarti melenceng dari ajaran agama.
Entah seperti apa perubahan itu, karena praktis sudah bertahun-tahun saya tidak pulang. Namun ikut menyaksikan dari berita-berita media lokal, saya sering menemukan berita mengenai pencurian, berita perilaku aborsi, berita kasus perselingkuhan dan lainnya.
Mungkin banyak kasus serupa, yang lepas dari apa yang saya saksikan di media lokal Bima.
Sebuah kabar yang mengejutkan, entah benar atau tidak, salah satu analisa lain karena di kawasan Wawo, sudah banyak vila.
Dan konon (namanya masih gosip karena saya belum kroscek mengingat posisi saya jauh di luar Bima), vila selain sebagai tempat istrahat, menghilangkan penat dan menghirup udara segar layaknya di Puncak Bogor, disalahgunakan. Semoga tidak benar dan perlu dikroscek lagi.
Analisa paham ketuhanan yang lain, adalah Masjid Sultan M.Salahuddin. Lokasinya sebelah Museum ASI. Masjid ini didirikan tahun 1770 Masehi oleh Sultan Abdul Kadim Zillullah Fil Alam, Sultan Bima ke-8. Namun tahun 1943 sempat hancur oleh bom sekutu pada perang dunia II. Tahun 1990 dibangun lagi dengan tetap mempertahankan bentuk aslinya.
Pada banjir bandang Bima, masjid sultan ini menjadi tempat pengungsian terutama warga sekitar masjid yang rumahnya terendam air.
Rumah warga dan masjid, jaraknya tidak jauh bahkan terbilang sangat dekat. Kenapa banjir tidak masuk dan ikut menggenangi masjid ini?
Bahkan tempat ini menjadi tempat peristirahatan ratusan warga, menghindari terjangan banjir bandang. Sementara di sekelilingnya termasuk di jalan utama yang persis di depan masjid, air begitu deras dan besar. Lagi-lagi bagi analis aliran ketuhanan mempertanyakan kenapa banjir tidak masuk ke masjid?
Bagi saya, kondisi alam adalah cara Tuhan untuk menegur umatnya, cara untuk menguji umatnya. Tidak ada yang sia-sia dari apa yang dilakukan-Nya, cuma kita mungkin yang selalu mengingkari nikmat melimpah yang diberikan-Nya.
Iqro, bacalah. Itulah ayat pertama kitab suci Al-Quran yang diturunkan. Baca juga untuk tanda alam dari-Nya, sebagai salah satu ciptaan-Nya. Wallahu a'lam Bishawab
Agus Rahmat
Twitter: @agusmbojo
Seketika merendam dan menghanyutkan barang-barang seisi rumah. Hingga kendaraan-kendaraan, tidak sedikit yang terseret ikut arus air akibat banjir yang deras itu.
Usai banjir surut, selanjutnya membersihkan |
Usai surut, tapi belum dibersihkan |
Entah berapa puluh tahun atau berapa ratus tahun, atau mungkin ini pertama kalinya banjir bandang sebesar ini terjadi? Entah, karena ilmu saya juga belum sampai jauh ke sana.
Kota Bima, adalah bagian dari perjalanan hidup saya. Tiga tahun hidup kos untuk menuntut ilmu di SMAN 1 dari 2000-2003, meninggalkan segudang kenangan yang tentu sangat membekas. Sehingga, ketika banjir bandang itu datang dan meluluh lantahkan beberapa lokasi yang melekat di otak saya, kesedihan muncul.
Mereka yang terpaksa mengungsi, kehilangan kebutuhan primer seperti sandang dan pangan, bahkan hanya mengenakan pakaian di badan selama tiga hari dan dalam keadaan basah, semakin menimbulkan kesedihan. Tidak perlu disinggung juga seperti apa keadaan keluarga yang sudah menetap di beberapa wilayah di Kota Bima.
Belakangan ini, pasca banjir surut dan menyisahkan lumpur dan kotoran yang ikut terbawa, analisa-analisa penyebab banjir bermunculan. Tentu media maindstream lokal dan media sosial, menjadi tempat menumpahkan analisis itu.
Banyak menyebut, karena cuaca ekstrim sehingga volume air hujan lebih banyak (analisa ini didukung citra satelit dan rilis BMKG dan BNPB), hingga penggundulan hutan dari wilayah Sape dan Wawo.
Namun yang sedikit mengusik saya, analisis yang menggunakan pendekatan ketuhanan. Ini menarik, karena Bima atau dana Mbojo, dipercayai memiliki kekuatan unsur ghaib itu juga ikut masuk dalam kepercayaan masyarakat.
Kekuatan ghaib ini adalah mengenai 'campur tangan' Tuhan di dalam setiap peristiwa, termasuk banjir bandang ini. Bima dalam sejarahnya, memang sangat religius. Setelah sempat lama berstatus kerajaan dengan berbagai kepercayaan animisme dan dinamisme, perlahan berubah menjadi kesultanan setelah Islam masuk. Bahkan termasuk Islam taat.
Nah, analisa dengan pendekatan ketuhanan itu menyebutkan, banjir bandang di Bima adalah peringatan dari Tuhan, Sang Khalik. Penilaian dari beberapa pihak baik di Bima maupun dou Mbojo (orang Bima) yang sudah menetap di daerah lain tetapi besar dan kecil di Bima, ada perubahan kultur.
Kultur Bima dan Islam adalah identik, menyatu. Walau masih ada yang memegang tradisi lama sebelum Islam masuk. Maka kultur yang berubah itu, berarti melenceng dari ajaran agama.
Entah seperti apa perubahan itu, karena praktis sudah bertahun-tahun saya tidak pulang. Namun ikut menyaksikan dari berita-berita media lokal, saya sering menemukan berita mengenai pencurian, berita perilaku aborsi, berita kasus perselingkuhan dan lainnya.
Mungkin banyak kasus serupa, yang lepas dari apa yang saya saksikan di media lokal Bima.
Sebuah kabar yang mengejutkan, entah benar atau tidak, salah satu analisa lain karena di kawasan Wawo, sudah banyak vila.
Dan konon (namanya masih gosip karena saya belum kroscek mengingat posisi saya jauh di luar Bima), vila selain sebagai tempat istrahat, menghilangkan penat dan menghirup udara segar layaknya di Puncak Bogor, disalahgunakan. Semoga tidak benar dan perlu dikroscek lagi.
Analisa paham ketuhanan yang lain, adalah Masjid Sultan M.Salahuddin. Lokasinya sebelah Museum ASI. Masjid ini didirikan tahun 1770 Masehi oleh Sultan Abdul Kadim Zillullah Fil Alam, Sultan Bima ke-8. Namun tahun 1943 sempat hancur oleh bom sekutu pada perang dunia II. Tahun 1990 dibangun lagi dengan tetap mempertahankan bentuk aslinya.
Masjid Sultan M.Salahuddin tampak depan |
Suasana pengungsi di Masjid Sultan Salahuddin (Foto: M.Asdar) |
Rumah warga dan masjid, jaraknya tidak jauh bahkan terbilang sangat dekat. Kenapa banjir tidak masuk dan ikut menggenangi masjid ini?
Bahkan tempat ini menjadi tempat peristirahatan ratusan warga, menghindari terjangan banjir bandang. Sementara di sekelilingnya termasuk di jalan utama yang persis di depan masjid, air begitu deras dan besar. Lagi-lagi bagi analis aliran ketuhanan mempertanyakan kenapa banjir tidak masuk ke masjid?
Bagi saya, kondisi alam adalah cara Tuhan untuk menegur umatnya, cara untuk menguji umatnya. Tidak ada yang sia-sia dari apa yang dilakukan-Nya, cuma kita mungkin yang selalu mengingkari nikmat melimpah yang diberikan-Nya.
Iqro, bacalah. Itulah ayat pertama kitab suci Al-Quran yang diturunkan. Baca juga untuk tanda alam dari-Nya, sebagai salah satu ciptaan-Nya. Wallahu a'lam Bishawab
Agus Rahmat
Twitter: @agusmbojo
Comments