Menyoal Pengusiran Media

Mengerubungi sebuah mobil stasiun televisi, berteriak-teriak dan cenderung menebar ancaman psikis, rasanya bukan sikap yang baik. Terlepas kita tidak sepakat dengan cara media itu memframing sebuah isu. ((https://news.detik.com/berita/d-3419558/sebuah-mobil-media-tv-nasional-dikerubungi-massa-di-istiqlal)


Kejadian di Istiqlal, Jumat 10 Februari 2017 malam terhadap salah satu stasiun televisi, membuat saya pribadi berpikir. Tidak kah kita merasakan bagaimana pekerja media yang ada di mobil itu, ketakutan luar biasa dengan teror psikis itu? Bagi saya, satu, kita sudah memframing agama dan budaya kita ternyata seperti itu. (https://news.detik.com/berita/d-3419602/mobil-tv-yang-dikerumuni-massa-berhasil-keluar-kompleks-istiqlal)

Siapa mereka di dalam? Mereka adalah jurnalis, yang menjalankan tugas memberikan informasi mengenai situasi di lokasi. Lalu, saat mereka ada di tengah-tengah ratusan bahkan mungkin ribuan orang, mereka diteriak-teriaki, di tunjuk-tunjuk dan terkepung, siapapun pasti akan merasa ketakutan yang luar biasa. Kekecewaan sudah pasti.

Foto diambil dari laman detikcom
Saya bukan seorang ahli agama. Tapi saya pernah mendengar kisah, saat Rasulullah Muhammad Saw setiap hari menyuapkan makanan kepada seorang pengemis buta yahudi di salah satu sudut pasar Madinah Al-Munawarah. Pengemis buta itu selalu menjelek-jelekkan Muhammad, orang yang menyuapi dia.

"Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya", kira-kira seperti itu seruan dari si pengemis buta kepada Muhammad, yang menyuapinya dengan sepenuh hati.

Hingga suatu hari, pengemis buta yahudi ini merasa yang menyuapinya bukan orang yang biasanya. Dia marah, dan bertanya kepada yang menyuapinya. "Yang biasa menyuapi saya lembut, tidak sekasar ini," begitu kira-kira perkataan pengemis yahudi buta itu. Pengemis itu mengatakan, yang biasa menyuapinya itu selalu menghaluskan makanan dari mulutnya sebelum menyuapkan ke mulut dia.

Memang, bukan lagi Muhammad yang menyuapinya, tetapi sahabat Abu Bakar r.a. Abu Bakar menjelaskan ke pengemis buta yahudi tersebut. Bahwa orang yang ia caci maki itu, adalah Muhammad Saw yang setia menyuapkan makanan ke mulutnya. Tapi Muhammad telah tiada. Pengemis itu menangis, dan saat itu ia masuk Islam dengan bersyahadat di hadapan Abu Bakar r.a.

Saya selalu yakin, melawan perbuatan yang menurut kita tidak benar, tidak perlu dibalas dengan cara-cara yang cenderung kasar. Seorang yang pintar agama pernah berkata ke saya, kekufuran tidak perlu dibalas dengan cara yang sama, bisa menimbulkan kekufuran baru.

Cara mengusir, mengintimidasi dengan teror psikis seperti itu, sebenarnya justru makin membangun rasa benci. Muaranya bisa menuju permusuhan. Sudah sejauh itukah yang kita harapkan? Kita berharap, itu adalah oknum, segelintir, setitik air dari lautan manusia yang memenuhi Rumah Allah, Masjid Istiqlal.

Sempat berbincang ringan dengan seorang teman jurnalis, yang beda agama. Biasanya, kami yang muslim dengan non-muslim selalu saling melengkapi. Saat hari raya Islam seperti Idul Fitri atau Idul Adha, rekan-rekan jurnalis yang muslim biasanya mendapat kesempatan libur, atau mendapat kelonggaran untuk beribadah setelah itu baru masuk liputan.

Begitu juga saat seperti ketika Natal. Teman-teman jurnalis non-muslim/Kristen tidak masuk karena ibadah. Atau diberi kelonggaran untuk beribadah, setelah itu liputan. Sementara teman-teman jurnalis yang muslim, yang bisa masuk full.

Tapi melihat beberapa peristiwa yang dialami teman-teman jurnalis semenjak aksi massa November dan Desember 2016 lalu, kok malah muncul ketakutan-ketakutan. Hanya karena perusahaan media tempat jurnalis itu bekerja dianggap tidak memihak mereka, lantas diperlakukan dengan kasar? Bagaimana kalau jurnalis itu seiman?

Apapun sebenarnya, perbuatan kasar tidak akan mendapatkan simpati. Justru semakin menimbulkan antipati dan stigma negatif. Sederhana saja, kalau salah silahkan protes, silahkan memberi masukan, atau bahkan dengan cara yang keras bisa yakni tidak perlu dibaca/ditonton/didengar produk media tersebut. Tentu itu adalah hak. Tidak perlu harus mengusir, meneriaki yang sifatnya mengancam secara psikis.

Di satu sisi, ini tentu menjadi pelajaran bagi kami. Ketika gelombang protes terhadap pemberitaan media yang mungkin banyak pihak menilai tidak independen. Tapi mari kedepankan cara-cara yang santun. Pekerja media adalah kaum yang berpikir. Descartes berkata Cogito Ergo Sum, Saya Berpikir Maka Saya Ada. Mari kita menjadi kaum yang berpikir.

Fastabiqul khairot

Comments