Menghakimi Kita Yang Beda

"Harus diingat bahwa kodrat bangsa Indonesia adalah kodrat keberagaman. Takdir Tuhan untuk kita adalah keberagaman. Dari Sabang sampai Merauke adalah keberagaman. Dari Miangas sampai Rote adalah keberagaman".

Kutipan kalimat itu disadur dari pidato Presiden Joko Widodo, pada upacara peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2017, di halaman Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri.
Masjid dan Gereja berdampingan di Bali (koleksi pribadi)
Pidato ini, menurut cendikiawan Prof Azyumardi Azra, sangat bagus. Bahwa memang bangsa Indonesia heterogen, tidak bisa dipaksakan menjadi homogen. Saya kira itu final.

Makna kata "keberagaman" dalam kutipan pidato Presiden Jokowi itu juga berarti perbedaan. Untuk lingkup Indonesia, akan terpampang banyak perbedaan, baik itu agama, bahasa, suku, warna kulit, hingga budaya yang berbeda-beda. Logat antara kampung satu dengan kampung sebelahnya pun, berbeda. Sehingga kita bisa mengenali lawan bicara kita hanya dengan mendengar logatnya saja.

Entah dimulai sejak kapan, sadar atau tidak, kita justru mulai menghakimi orang yang berbeda dengan kita. Terutama dalam konteks pemikiran, pilihan politik, hingga ide-ide. Cenderung terlihat, kita gampang menghakimi orang yang berseberangan dengan kita dalam konteks itu.

Ketika seseorang melontarkan pikiran kritisnya terhadap pemerintah/person tertentu/lembaga tertentu atau yang lain, kemudian bermunculan penghakiman itu tadi. Hampir jarang terlihat, kritikan itu dibalas dengan jawaban yang ilmiah. Bahkan sering terjadi, muncul pikiran "Ah orang ini kan oposisi", atau "Memang dia benci kok sama pak ini".

Budaya nyinyir (mungkin semacam mencemooh), mengejek, kini justru sering digunakan. Seperti saat seseorang menyampaikan pokok pikirannya yang berbeda dengan kita, atau mengkritik orang yang kita 'puja', maka yang lebih banyak dilakukan adalah mengedepankan budaya nyinyir dan mengejek itu tadi.

Padahal harus dipahami juga, gaya setiap orang mengkritik itu berbeda-beda. Ada yang dengan lugas tanpa tedeng alih, atau ada juga yang berputar-putar memberi penjelasan, atau ada yang menggunakan sindiran halus. Keberagaman cara mengkritik ini sebenarnya indah, dan kembali lagi pada pidato Pak Jokowi "...kodrat bangsa Indonesia adalah kodrat keberagaman".

Ketika kita memahami keberagaman agama, bahasa, suku, adat dan budaya dari Sabang sampai Merauke seperti dalam pidato Presiden Jokowi, harusnya kita juga bisa menerapkan itu dalam konteks perbedaan pandangan politik maupun pemikiran. Tapi rasanya sekarang belum.

Gampang sekali menghakimi terhadap orang yang berbeda sikap politiknya. Apalagi, partai politik itu mendukung seseorang yang kita tidak suka, terlepas dari persoalan pribadi orang tersebut.

Kita seolah melupakan, bahwa sebenarnya sikap itu tidak mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Bagaimana bisa mengklaim dirinya #SayaPancasila tapi tindakan dan cara kita memperlakukan perbedaan itu justru berlawanan dengan nilai-nilai Pancasila?!

Kita cenderung melihat, perdebatan yang keras dan alot sebagai sebuah permusuhan. Padahal, bagaimana misalnya dulu Bung Karno berdebat dengan Syahrir atau Hatta sekalipun. Atau sebut saja tokoh-tokoh lainnya.

Bagaimana sikap Buya Hamka saat diperlakukan tidak adil oleh Soekarno dan Pramodya Ananta Toer. Buya dipenjara 2 tahun era Bung Karno, dituduh plagiat oleh Pramodya. Tentu ada pembelaan, walau akhirnya Buya Hamka mendekam juga di balik jeruji.

Tapi saat Bung Karno wafat, Buya Hamka lah yang mensholatinya. Saat kekasih anak Pramodya minta di Islamkan, Buya Hamka juga yang membimbingnya. Bagi saya, itulah sikap Pancasila sejati.

Comments