BK Sebagai “Warning” Untuk DPD

Korry Elyana (berjilbab), Direktur Media dan Opini Publik pada Renaissance Political Research and Studies (RePORT)


Janganlah kita lupakan demi tujuan kita, bahwa pemimpin berasal dari rakyat dan bukan berada
di atas rakyat - Bung Karno.


Bung Karno menyatakan kalimat tersebut sebagai bentuk peringatan “warning” bahwa seorang
pemimpin berasal dari rakyat bukan di atasnya rakyat. Oleh karenanya semua sama dimata hukum, tidak terkecuali bagi pemimpin.

Begitupula terbentuknya Badan Kehormatan (BK) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai “warning” jika DPD melakukan kesalahan.

Salah satu tugas dari BK DPD RI ialah melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan
terhadap anggota Badan Kehormatan dan melakukan evaluasi dan penyempurnaan peraturan DPD
tentang Tata Tertib dan Kode Etik DPD.

Rekomendasi mengenai pembentukan BK merespon lahirnya ketetapan MPR RI nomor XI/MPR RI/1998 tentang Penyelenggaran Negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepostisme.
Namun dalam perjalanannya, masyarakat menilai bahwa kinerja BK belum optimal karena BK
dianggap hanya dibuat untuk melindungi anggota dewan yang selama ini banyak terjerat kasus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Dengan diadakannya Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang menuai banyak kritik. Salah satu diantaranya, undang-undang tersebut dianggap membatasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan proses hukum terhadap anggota dewan yang diduga terlibat kasus KKN.

UU MD3 dianggap membatasi penegak hukum untuk menyidik anggota DPD yang melakukan
tindak pidana tertentu. Karena dalam penyidikan, penegak hukum perlu izin mahkamah kehormatan yang adalah anggota DPD juga. Selain itu, butuh waktu sampai 30 hari untuk dapat ijin menyidik anggota DPD.

Waktu tersebut dinilai dapat dipakai anggota dewan untuk kabur, atau menghilangkan barang bukti.
Walaupun banyak yang menilai negatif, BK berani menepis hal tersebut dengan diberhentikannya
Irman Gusman dari jabatan ketua DPD. Dikutip dari (jpnn.com sabtu, 27 Januari, pukul 10.03) Keputusan ini dibuat dalam sidang kode etik BK DPD, Senin (19/9) malam terkait penetapan tersangka Irman Gusman oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Menyimpulkan dan mutuskan saudara Irman Gusman diberhentikan," ujar Ketua BK DPD AM Fatwa di Gedung DPD, Senayan, Jakarta.

Merujuk pada teori korespondensi (The Correspondence Theory of Thruth) yang berpandangan
bahwa pernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan yang ada di alam atau objek yang dituju pernyataan tersebut. Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta.

Kebenaran ini seutuhya berangkat dari kenyataan yang dengan dibuktikan secara inderawi oleh responden. Dalam teori kebenaran korespondensi berlaku pada kebenaran yang sifatnya objektif, dalam artian ia harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam pembentukan objektif.

Maka faktor inderawi yang menjadi alat untuk mengungkap kenyataan alam harus dapat menyatakan yang sebenarnya, mengetahui realitas yang ada dengan cermat. Seperti kebenaran yang sudah dilakukan oleh BK dalam menyikapi kasus yang menjerat Irman Gusman.

Dikutip (Detik.com, Sabtu, 27 Januari 2018, pukul 13.00) Irman terbukti menerima suap Rp 100
juta dari pasangan suami istri Xaveriandy Sutanto dan Memi. Keduanya merupakan pengusaha
gula asal Sumatera Barat.

Hakim menyebut Irman telah mempengaruhi Dirut Bulog Djarot Kusumayakti agar dapat memberikan kuota pembelian gula impor kepada Memi. Kuasa hukum Irman keberatan dengan hal tersebut.

"Terhadap 12 huruf b ini hakim mempertimbangkan itu terbukti, menerima uang dan dianggap mempengaruhi Kabulog itu menurut pendapat majelis. Sementara kami mengatakan tidak ada kegiatan Pak Irman yang mempengaruhi Pak Djarot dengan menyalahi kewenangannya," jelas kuasa hukum Irman, Maqdir Ismail.

BK sudah melakukan hal yang benar dan memberikan persepi yang positif kepada masyarakat
yang saat ini cenderung berfikir negatif. Sehingga dengan pemberhentian Irman Gusman sebagai ketua DPD dinilai bisa merangsang publik untuk untuk memberikan pandangan yang positif.

Jika citra BK sudah mejadi positif, hal tersebut akan mendorong untuk melakukan sesuatu yang positif. Citra positif BK dapat membuahkan sebuah perubahan yang baik bagi BK.

Citra BK tidak bisa direkayasa, artinya citra tidak akan datang dengan sendirinya. Oleh karenanya
upaya membangun citra tidak bisa dilakukan secara instan pada saat tertentu saja, tetapi merupakan suatu proses yang panjang. Sebuah lembaga yang memiliki citra yang positif pada umumnya berhasil
membangun citranya setelah belajar banyak dari pengalaman.

Mereka berupaya untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dilakukan pada masa lampau. Memahami bahwa keberhasilan tidak hanya tergantung pada mutu tapi juga pada kemampuan membangun citra lembaga.

Maka BK harus berani mengambil keputusan-keputusan yang tegas dalam sebuah kesalahan DPD
karena BK sebagai bentuk “warning” DPD. Jika salah berani katakana salah dan jika benar maka
katakana benar. Karena ketegasan dan keterbukaan BK merupakan salah satu faktor utama untuk
mendapatkan citra positif.

Bukan hanya itu BK juga harus mendahulukan kepentingan masyarakat, bukan kepentingan golongan ataupun partai, karena BK di bentuk berdasarkan kepentingan rakyat. Dan sikap BK mengenai keputusan memberhentikan Irman sebagai Ketua DPD patut di apresiasi.


Penulis:
Korry Elyana
Direktur Media dan Opini Publik pada Renaissance Political Research and Studies (RePORT)

Comments