Belajar Tak Menerima 'Suap' Dari Tukang Parkir

Ilustrasi
Berbicara masalah parkir, mungkin yang lagi ramai saat ini soal Bu Ratna Sarumpaet. Yang mobilnya di derek oleh Dishub DKI. Melibatkan pemangku kekuasaan di DKI juga. Singkat cerita, hingga berujung somasi. Jelasnya, bisa dicari di berita-berita media.

Tapi yang ingin sedikit saya kisahkan, bukan soal Bu Ratna, ibunda dari artis cantik Atikah Hasiholan itu. Bukan juga kejadian yang menyerupai itu. Tapi ini, soal sosok juru parkir.

Juru parkir, atau yang sering disebut tukang parkir, adalah salah satu profesi yang banyak terlihat di kota atau daerah yang menyediakan layanan jasa. Baik itu restoran (tempat makan), pusat perbelanjaan, tempat hiburan, hingga wisata atau rekreasi.

Juru parkir, juga bisa dilihat dari dua sudut pandang. Mereka (juru parkir) yang bekerja di gedung-gedung atau pusat bisnis, dan yang di luar itu seperti pinggir jalan, pinggir gedung.

Untuk yang di dalam gedung, biasanya mereka tertata rapi. Mulai dari kostum, area parkir khusus (mobil dan roda dua atau motor), serta nominal rupiahnya terukur, sesuai dengan lamanya si empunya kendaraan menitipkan kendaraannya di area tersebut.

Tetapi untuk yang parkir di luar gedung, tidak ada patokan harga yang pasti. Tidak ada juga jumlah rupiahnya disesuaikan dengan lamanya. Tidak ada itu. Walau kadang mereka menggunakan baju seragam dan berlabel dinas terkait, tetapi tidak jarang mereka menggunakan pakaian biasa. Entah bagaimana perhitungannya. Apakah mereka termasuk bagian dari pemilik lahan di tempat mereka memarkirkan kendaraan pengunjung atau itu bagian mereka atas persetujuan pemilik.

Tapi untuk jumlah rupiahnya, biasanya paling minimal adalah Rp2 ribu. Atau selemah-lemahnya kantong adalah recehan hingga Rp1.000 saja. Biar kelihatan banyak, dikasilah kepingan yang Rp100. Mungkin jumlah itu diberikan, karena parkir di luar gedung seperti ini tidak dikenakan asuransi.
Oke, berbiacara mengenai tukang parkir. Saya sedikit bercerita, pengalaman muklam-muklam (jalan-jalan) ke Malang Jawa Timur, pekan kemarin. Selain memang ingin liburan, menjauh dari hiruk pikuk Jakarta yang sibuk dengan politik dan kerja kaum urban, setidaknya bernostalgia dengan kota ini. Sejak tahun 2003, saya pertama kali menginjakkan kaki di Bumi Arema tersebut. Hingga menyelesaikan kuliah pada tahun 2008 di Kampus Putih Universitas Muhammadiyah Malang.
Karena baru tiba menjelang siang, setelah istrahat sejenak di sebuah hotel di kawasan dekat UMM, kami memilih untuk makan. Saat itu, hari sudah sore dan terlihat mendung mulai menyelimuti. Sebelum hujan, kita makan saja dulu. Gerutuku.
Karena lama sudah tidak ke sini, langkah sempat terhenti. Mau makan dimana? Setelah berunding beberapa saat, maka salah satu kedai makanan di depan kampus itu, pilihan kami. Sebelumnya, sekitar 2013 kami sempat ke sini. Untuk orang luar Malang, harga makanan ini termasuk murah. Tapi saat jaman mahasiswa dulu, tetaplah mahal (maklum, kiriman perbulan tipis).
Motor jenis matik yang dipinjamkan oleh teman, menyusuri kedai tempat makan itu. Nama kedainya terbilang Islami. Saat di depan kedai itu, saya tidak melihat deretan motor. Hanya mobil-mobil. Ternyata, untuk motor diparkir di samping gedung, ada lahan kosong yang tidak besar. Dua orang tukang parkir, mengarahkan kendaraan roda dua yang saya bawa.
Asik menyantap makanan, kami tidak sadar hujan turun. Usai hujan, kembali ke hotel adalah jalan terbaik. Malam itu, ada rencana ngopi-ngopi dengan teman-teman.
Seperti ketika di Jakarta, uang Rp2 ribu sudah kami siapkan untuk membayar parkir. Walau di situ ada tulisan ‘parkir gratis’, tapi lazimnya kalau di kasi maka mereka menerima. Usia menyalakan motor, uang kertas itu kami sodorkan ke bapak-bapak yang mungkin umurnya di atas 50 tahun.
“Enggak mas,” katanya dengan tangan penolakan.
Piker ku, mungkin si bapak ini lagi jaim. Atau dilihat oleh pihak kedai atau menolak dulu lalu diterima. Kami kemudian menyodorkan lagi lembaran itu, tetap si bapak itu tidak menerima. Ia malah berjalan ke depan, menghalau kendaraan agar kami bisa melewati jalan raya tersebut.
Di kota-kota besar, siapa sih yang tidak ingin uang? Apalagi untuk pekerjaan yang penuh resiko dengan penghasilan yang kecil seperti juru parkir ini. Saya kemudian berpikir, banyak para pejabat di sana, yang bekerja dengan mengharapkan ‘tips-tips’ dari si empunya uang banyak. Bahkan mereka yang harusnya kerja untuk rakyat, ternyata condong ke ‘pemodalnya’ atau mungkin seperti yang disebut bang Dahnil Anzar Simanjuntak sebagai Politik Rente.
Si bapak juru parkir itu, bisa saja dia digaji untuk mengurus parkir di kedai itu. Tapi berapa sih penghasilannya? Mencukupikah? Bukankah dengan menerima tips itu bisa menambah penghasilan dia? Setidaknya kalau biasanya beli baju hanya satu sebulan, ini bisa dua, tiga atau lebih untuk sebulan?
Akhirnya, saya kemudian berpikir, ini bukan soal materi. Ini bukan soal tidak butuh uang. Tapi ini soal kepercayaan, integritas, dan disiplin.
Saya menjadi memahami, bahwa si bapak itu ingin agar dia dipercaya. Maka hal-hal di luar ditugasnya, tidak dilanggarnya. Ia mungkin tetap diminta mengurus parkir, tanpa memungut biaya dari pengunjung. Sehingga ketika ia berjalan di relnya, maka kepercayaan terhadap dirinya akan melekat.
Saya juga menjadi percaya, integritasnya baik. ‘Parkir gratis’ kalau dilanggar dengan memberi tips yang tidak menyalahi, nampaknya tidak ada masalah. Kecuali memaksa meminta uang parkir, padahal di situ tertera ‘parkir gratis’ maka itulah yang salah. Sebab tips diberikan oleh pengunjung, atas kerelaan dia, bukan atas tekanan si juru parkir.
Integritasnya baik, karena dia patuh terhadap aturan. Setidaknya, aturan yang menjadi konsensu bersama adalah papan ‘parkir gratis’ itu. Bayangkan dengan tuan-tuan yang ada di sana, di singgasananya yang empuk sana. Jangankan papan pengumuman seperti itu, undang-undang saja yang jelas implikasi hukum dan dosanya, mereka abaikan.
Saya juga menjadi paham, bahwa dia punya disiplin yang tinggi. Bukan masalah tepat waktu saja. Tetapi ia disiplin menerapkan hukum/aturan/plank ‘parkir gratis’ itu. Mungkin banyak orang-orang seperti bapak juru parkir tersebut.
Tapi setidaknya, kita bisa belajar dari mereka yang hanya mencari nafkah dengan penghasilan yang jauh dari kata layak, tetapi mereka memiliki integritas, disiplin dan mampu menjaga kepercayaan orang terhadap dirinya. Toh tidak salah kita, pejabat-pejabat, belajar dari juru parkir seperti ini.

*Ditulis di atas KA Gajayana Menuju Gambir Jakarta

Comments