Memahami Tindakan Aparat Antisipasi Teror

Jagat media sosial, heboh dengan beredarnya sebuah video. Dimana seorang laki-laki, bersarung dan baju putih serta peci, disuruh membongkar isi kardus yang ia bawa. Yang menyuruh adalah aparat polisi bersenjata lengkap.

Entah dimana lokasinya, tetapi dari video itu terlihat di pinggir jalan raya. Lelaki itu disebut sebagai seorang santri. Dia menuruti permintaan bapak-bapak polisi agar membongkar kardusnya.

Isi kardus itu satu persatu dikeluarkan. Isinya adalah pakaiannya.

"Tasnya tasnya (dibuka)," teriak seorang polisi.

Posisi santri itu setelah mengobrak abrik kardusnya, agak mendekat ke parat kepolisian. "Menjauh menjauh," terdengar suara itu.

Sejurus kemudian, santri itu membongkar isi tasnya yang juga ternyata dipenuhi baju. Si santri mungkin terlihat kesal, sampai isi tasnya itu dilempari ke luar. Video itu berdurasi 44 detik.

Entah kapan waktunya, jam, tanggal, hari dan tahun. Namun diprediksi, kejadian itu baru. Banyak yang mengecam tindakan polisi itu. Mulai dari dianggap berlebihan, sampai menyebutkan kalau ada tuduhan bahwa umat tertentu yang jadi kena imbasnya.

Hal ini tidak lain, setelah peristiwa bom di Surabaya Jawa Timur. Minggu, 13 Mei 2018 pagi, tiga gereja dibom oleh pelaku bom bunuh diri. Ironisnya, para pelaku itu adalah satu keluarga, dari orang tua dan anak-anaknya.

Menyusul pada Senin 14 Mei 2018, pagi hari juga, bom bunuh diri terjadi di pintu masuk Mapolrestabes Surabaya. Tentu kita bisa menebak, polisi sasaran dari pelaku terorisme tersebut.

Penggerebekan jaringan ini pasca kejadian-kejadian itu, massif dilakukan oleh Densus 88 Anti-Teror.

Imbas itu juga, institusi kepolisian mulai memperketat pengamannya di markas mereka sendiri. Di Mabes Polri, wartawan yang tanpa tanda pengenal yang dikeluarkan lembaga itu, tidak bisa masuk. Tentu ini aturan baru, pasca bom-bom itu. Begitu juga di Polda Metro Jaya.

Kembali ke video itu. Jika perspektif kita hanya dari sepenggal video itu, tentu bisa dimaklumi kemarahan, kekecewaan dan pengecaman terhadap aparat kepolisian yang memperlakukan santri layaknya seorang terduga.

Tetapi sejatinya, itulah cara aparat keamanan. Bagi kita warga sipil, tentu itu risih. Tapi aparat keamanan, itulah yang harus diambil ketika kondisi sekarang tidak tahu siapa musuh dan kawan. Maka setiap dugaan, dalam kondisi seperti sekarang, harus diambil tindakan pencegahan.

Anggap saja, ini misalnya ya, misalnya. Misalnya benar bom. Tetapi aparat tidak mengambil langkah preventif atau antisipatif. Siapa yang korban? Siapa yang disalahkan? Tentu aparat. Maka perspektif keamanan dengan pencegahan dini, itu dilakukan.

Lalu, kenapa bukan polisinya saja yang menggeledah? Kok sampai santrinya? Seolah dituduh teroris?

Menjawab pertanyaan itu, kiranya kita harus melihat lagi rekaman bom bunuh diri di depan Mapolrestabes Surabaya Senin itu. Seorang polisi di pintu masuk, nampak mengatur di depan. Sebuah mobil, dan dua motor. Hingga kemudian, motor itu meledak dan polisi kena imbasnya. Di situ pelaku bom bunuh diri meledakkan dirinya.

Nah, karena pelaku sekarang adalah menggunakan cara bom bunuh diri, maka tindakan antisipatif yang dilakukan adalah dengan menjauhkan terduga dari kerumunan orang. Dari aparat.

Logika keamannya, maka orang yang dicurigai itu harus menggeledah sendiri barangnya. Kalau misalnya, lagi-lagi misalnya, dia membawa bom, maka aparat keamanan telah melakukan tugasnya dengan baik karena menajuhkan bahaya itu dari masyarakat lain. Kalaupun meledak, maka si pelaku lah yang menjadi korban, alias korban tunggal, dari bom yang ia bawa.

Lalu pertanyaannya, setelah dugaan aparat itu tidak benar, apa yang terjadi? Karena video itu hanya sampai saat santri tersebut mengeluarkan isi tasnya. Bagaimana selanjutnya? Kita yang mengecam ataupun yang mengumpat aparat keamanan, tidak pernah mencari tahu bagaimana selanjutnya.

Akun @Banser_CyberNU mengunggah video itu. Dengan caption "Plisss dulur Brimob ngejak guyon santri ojo kebangetan. (tlg kardusnya diganti yang baru pak)" sambil menambahkan emoticon senyum manis.

Beberapa akun lain bertanya, apa yang terjadi. Kenapa begini kenapa begitu. Hingga akhirnya, ia mengunggah foto-foto saat si santri selfie dengan aparat kepolisian. Sepertinya, aparat yang menyuruhnya membongkar kardusnya tadi.

"...dan selepas geledah. Kang santri dan dulur Brimob berangkulan. Minum kopi bareng. Untuk Indonesia aman dan damai, apapun rela dilakukan oleh poro santri "hubbul wathon minal iman". #IndonesiaDamai dan asik2 aja" sambil menambah emoticon kiss.

"Kasi foto kemesraan ini. #gantikardus" tulisnya sembari mengunggah dua foto santri yang digeledah tadi dan polisi.



"Mbar (selesai) ngopi sambil ngenteni #gantikardus".

Teringat sebelumnya, sebuah video Ustad Abdul Somad, yang menyebutkan kalau bom bunuh diri itu bukan mati konyol tapi mati sahid. Lalu kemudian diklarifikasi oleh yang bersangkutan langsung, bahwa pertanyaannya adalah soal di Palestina.

Dia menjelaskan, dalam keadaan perang maka orang yang memerangi musuh dan nekat mati hingga benar-benar mati, maka disebutnya syahid. Tetapi dalam keadaan damai, itu tidak berlaku. Mungkin jelasnya silahkan cari di youtube.

Artinya apa? Kita harus memahami perspektif aparat keamanan. Karena dalam kondisi seperti sekarang ini, maka aparat keamananlah yang berada di depan kita. Sehingga aturan-aturan yang berlaku, mereka terapkan. Kita, harus memaklumi bahwa tindakan itu untuk mengantisipasi peristiwa-peristiwa serupa terjadi.

Dan kita juga rasanya harus kritis. Ketika mendapatkan informasi seperti video. Apakah benar hanya seperti itu? Apakah kemungkinan di edit? Apakah tidak dipotong? Bagaimana selanjutnya dan seterusnya dan seterusnya.

'Bacalah dengan menyebut nama Tuhan mu' sebelum kita memvonis pihak lain salah. 'Bacalah dengan menyebut nama Tuhan mu' sebelum mencaci maki pihak lain. Berbaik sangkalah terlebih dahulu.

Comments