Fahri, Dahnil, Busyro dan Keteladanan Buya Hamka


“Agaknya Pak Busyro Muqoddas, Fahri Hamzah, dan Saya sering berdebat dibanyak forum, karena perbedaan sikap dan pandangan. Sekeras apapun perdebatan dalam dialog tersebut, sejatinya kami tetap merawat nalar sehat. Tidak ada kebencian, berdebat harus namun silaturahim tetap terjaga,”… -- Dahnil Anzar Simanjuntak, Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah.

Kiri ke kanan: Busyro Muqoddas, Fahri Hamzah, Dahnil Anzar (dok: facebook Dahnil Anzar)
Sepotong penggalan kalimat yang diunggah Bang Dahnil, dalam akun facebook pribadinya, menampilkan dua tokoh muda dan satu tokoh senior. Mereka adalah orang yang kerap berdebat keras, saling mengutarakan argument-argumennya.

Fahri Hamzah, Busyro Muqoddas, dan Dahnil, adalah tiga orang yang kerap tidak bersepaham. Hal yang paling tajam perbedaan antara mereka adalah masalah KPK dan persoalan pemberantasan korupsi. Bahkan, perbedaan itu konsisten dipertahankan.

Pak Busyro adalah salah seorang yang sempat menjadi komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), setelah mengakhiri tugasnya di Komisi Yudisial (KY). Beliau juga sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Sementara Fahri Hamzah, adalah politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan anggota DPR beberapa periode belakangan.

Sedikit mengingat, saat masih meliput di DPR. Kala itu, Fahri adalah Wakil Ketua Komisi III (membidangi masalah hukum). Sementara Pak Busyro, adalah komisioner komisi antirasuah. Pada suatu hari, diadakan pertemuan antara pimpinan DPR, Komisi III dan KPK. Saya lupa persoalan persisnya.

Dan dalam pertemuan itu, terlihat sikap kritis Fahri. Bahkan tak segan-segan, politisi asal Sumbawa NTB itu mengecam keras cara Busyro dan KPK dalam mengelola lembaga itu. Lagi-lagi saya lupa persis bagaimananya bunyinya. Tapi intinya, Fahri mengkritik dengan sangat keras. Sikap itu ia jaga terus. Bahkan sampai ada yang menilai ia tidak pro pemberantasan korupsi.

Di luar itu, tentu pasti banyak perbedaan-perbedaan lagi yang mereka tonjolkan.

Begitu juga dengan Bang Dahnil. Beliau adalah salah seorang yang mendukung KPK dalam pemberantasan korupsinya. Melalui Madrasah Anti Korupsi (MAK), semacam sekolah yang menjadi bekal untuk generasi muda menjauhi perilaku korup sejak dini, dikembangkan. Perbedaan pandangan yang paling mencolok tentu terkait KPK.

Sikap Fahri sendiri, karena sering melihat langsung, memang tidak segan-segan untuk mengkritik tajam pejabat pemerintah. Bahkan kritik-kritik itu sudah ia lakukan semenjak Pak SBY menjadi Presiden RI. Bahkan kala itu ramai, soal sikap Fahri dkk itu.

Jagad politik ramai, karena sikap kritis Fahri dkk terhadap SBY. Maklum, saat itu PKS sebagai partai yang dinaungi Fahri, adalah salah satu pendukung SBY. Bahkan, di kabinet, PKS dapat banyak kursi menteri. Sikap kritis itu juga, berpekan-pekan menjadi santapan berita-berita politik.

Hingga ada suatu saat, Pak SBY mengumumkan reshuffle kabinet. Salah satu yang dicopot adalah menteri dari PKS. Prediksi politik ramai. Keputusan itu dianggap sebagai bentuk ‘hukuman’ dari SBY ke PKS karena sikap itu. Entah benar atau tidak.

Kritik Fahri terhadap pemerintah, tak pernah padam. Hingga ketika Jokowi menjadi Presiden. Namun dalam silaturahim seperti saat buka puasa bersama di kediaman dinas Ketua DPR pada 2018, silaturahim dengan Pak Jokowi tetap layaknya sesame manusia, hamba Tuhan. Begitu juga saat buka puasa di Istana. Tidak ada permusuhan.

Kembali ke awal. Bang Dahnil kemudian men-share foto mereka bertiga, yang bersama-sama dalam satu meja. Yakni Pak Busyro, Bang Fahri di tengah, dan Bang Dahnil. Ketiganya tentu punya rekam jejak di Persyarikatan Muhammadiyah.

Fahri, mengenyam pendidikan dari Madrasah Ibtidayah (sejajar SD) hingga SMA di Sumbawa, adalah sekolah Muhammadiyah.

“Oh ya, kami sama-sama pernah dikader dan dididik di Ikatan Pelajar/Remaja Muhammadiyah (Dulu IRM sekarang IPM),” tulis Dahnil.

Melihat ketiganya dalam guyub, walau sering mengkritik, rasanya tidak salah kalau kita kembali mengingat kisah Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka. Ya, beliau banyak pengalaman akan perbedaan sikap dan diakhiri dengan silaturahim yang indah.

Buya Hamka sejak awal perjuangan kemerdekaan RI, adalah salah seorang yang termasuk sahabat Bung Karno. Selain karena keduanya termasuk Muhammadiyah. Hingga tentu perbedaan sikap itu semakin tajam, saat menyikapi masalah PKI.

Buya pernah ditahan oleh rezim saat itu. Entah salah apa. Namun dari sejumlah literature tentang Buya Hamka, yang dituduhkan diantaranya adalah membangkang dari pemerintahan sah. Bertahun-tahun Buya dipenjara, walau saat itu kondisi beliau juga tidak terlalu sehat.

Apakah ada kemarahan terhadap Bung Karno? Rasanya tidak. Hingga sebelum meninggal, BK sempat berpesan ingin disalatkan oleh Buya Hamka. Dan benar saja, Buya yang ketika itu baru pulang dari masjid di dekat rumahnya di Kebayoran Baru, langsung bergegas menuju kediaman dan mensalatkan proklamator itu.

Siapa yang tidak kenal Pramoedya Ananta Toer. Karya-karya begitu laris dan menjadi salah satu referensi hingga kini. Sebut saja salah satu mahakarya beliau ‘Bumi Manusia’. Namun siapa tidak pernah tahu, kalau Pram – panggilan akrab Pramoedya -- pernah berselisih dengan Buya Hamka.

Lagi-lagi, saat marak masalah PKI tahun 1960-an. Buya Hamka dituduh sebagai plagiat. Karyanya ‘Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk’ disebut oleh media besutan Pram, sebagai plagiasi dari karya sastra seorang dari Perancis. Tuduhan itu bertubi-tubi.

Namun tiba suatu hari, seorang perempuan dengan laki-laki, mendatangi kediaman Buya Hamka. Dia meminta agar sang kekasih, laki-laki itu, bisa di-Islamkan. Mereka berdua ingin menikah, tetapi sang laki-laki beda agama. Ayah dari si perempuan itu ingin anaknya menikah dengan orang yang seagama. Dan ayahnya itu juga, merekomendasikan Buya Hamka.

Ayah si perempuan itu tak lain adalah Pramoedya Ananta Toer. Buya Hamka menerima permintaan Pram itu, dan dia mengislamkan si laki-laki. Dalam bukunya Irfan Hamka Ayah yang menulis tentang Buya Hamka, tidak ada rasa sakit hati terhadap Pram, walau ia difitnah terkait Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk.

Dengan Muhammad Yamin, pun demikian. Buya dan M.Yamin, termasuk dua sahabat baik. Selain keduanya dari Sumatera Barat. Perang dingin keduanya bermula, saat Sidang Konstituante di Bandung. Kala itu, Buya anggota Partai Masyumi.

Dia dengan tegas menginginkan Indonesia berazaskan Islam. Sementara M.Yamin termasuk yang penggagas Pancasila.

“Bila negara kita ini mengambil dasar negara berdasarkan Pancasila, sama saja kita menuju jalan ke neraka,” begitu pekik Buya Hamka pada sidang itu.

Tentu semua orang terpana. Banyak yang kecewa. Termasuk di dalamnya adalah M.Yamin. setelah itu, semakin tajam perbedaan keduanya. Bahkan beberapa kisah menyebutkan, keduanya tidak pernah bertegur sapa lagi.

Namun saat Yamin sedang sakit keras, setelah Masyumi dibubarkan dan setelah peristiwa di Konstituante itu, Buya Hamka lah yang diwasiatkan oleh Yamin. Melalui Chairul Saleh, ia meminta Buya menemuinya di Rumah Sakit.

Buya tidak ada dendam, dengan senang hati dan tentu bersedih karena sahabatnya sakit keras, ia mendatangi ruang perawatan M.Yamin. Keduanya menangis, dan tentu M.Yamin mengucapkan terima kasih.

Buya Hamka lah yang membimbing M.Yamin, untuk mengucapkan kalimat syahadat di telinganya. Hingga akhirnya, pahlawan nasional itu menghembuskan nafas terakhirnya, dengan tangan masih menggenggam tangan Buya.

Keinginan M.Yamin seperti yang diamanatkan melalui Chairul Saleh, adalah Buya bisa memakamkannya di kampung kelahirannya, Talawi, Sawahlunto Sumatera Barat. Dan Buya mengabulkan, ikut menguburkan M.Yamin di sana.

Di tengah kondisi bangsa saat ini, perbedaan sikap yang tajam, tidak ada salahnya kita mengungkap lagi sikap-sikap negarawan yang patut ditiru. Jangan Lupakan Sejarah, begitu pekik Bung Karno. Sejarah Buya Hamka dengan sikap seperti itu, rasanya perlu kita umbar lagi.

Saat ini, kita terlalu kaku bersikap terhadap yang beda. Berbeda, malah lebih sering dianggap musuh. Berbeda pilihan politik saja, dianggap musuh. Mengkritik orang yang mereka dukung, dianggap musuh. Rasanya sikap-sikap seperti Buya Hamka, maupun yang ditunjukkan Fahri Hamzah-Busyro Muqoddas-Dahnil, perlu menjadi refleksi bersama dalam membangun bangsa.

Kata Bang Dahnil, mari menggembirakan perbedaan. Fastabiqul khairat.

Comments