Harta, Tahta, Berita

Harta Tahta Berita? Bagian belakang dari kaos jurnalis yang dibuat @kaosjurnalis 
"Mana beritanya? Sudah siang nih?" pesan dari redaktur  di grup WA kantor, terpampang jelas. Saat itu jam sudah menunjukkan pukul 10.00 WIB. 

"Bisa naikkan berita ini nggak? 'aman' lah," pesan pribadi masuk, tertera nama dan foto di kontak WA yang sudah dikenal. 

"Anda nulis berita ini? Saya tak pernah berbicara demikian!," seorang narasumber, memprotes judul berita yang menurutnya tidak sesuai. 

"Sayang, kamu main HP melulu? kan lagi sama aku. Ngetik berita lagi?". Sang pacar judes melihat kita tak mengangkat kepala dari layar smartphone di tengah remang-remang taman kota di Ibukota.

Banyak ungkapan-ungkapan lain, yang menunjukkan bahwa kata 'berita' adalah bagian terpenting dari wartawan. Di manapun, kapanpun, berita adalah nomor wahid. 

Maka jangan heran, kalau melihat wartawan sedang serius melihat layar smartphone, sebenarnya antara dua. Ia membaca berita atau mengetik berita. 

"Harta, Tahta dan Wanita" adalah tiga kata yang selalu disematkan pada orang-orang dalam mengejar kenikmatan dunia. Rasanya semua akan mencari itu. 

Bagi wartawan, harta tentu saja dicari. Namun sebagian mengatakan "kalau mau kaya jangan jadi wartawan". Setiap manusia, sudah pasti akan mengejar harta. Tentu dengan trik yang berbeda-beda. Tapi tak jarang juga mengejarnya tanpa mempedulikan hak-hak orang lain.

Tahta bagi dunia wartawan, bisa saja diibaratkan jabatan di lingkungan kerja, keredaksian. Tapi rasanya, banyak juga yang enggan mengejar jabatan itu. "Aduh gue mau dikantorin nih, gimana dong", keluh seorang teman. Dikantorin sebenarnya otomatis dia naik pangkat, menjadi editor atau asisten redaktur. 

Namun, banyak yang mengatakan dunia wartawan adalah lapangan. Ketika sudah terbiasa dengan kerja lapangan, lalu tiba-tiba kerja di balik meja di dalam kantor, rasanya ada perubahan 180 derajat. Dunia lapangan adalah ketidak teraturan. Mulai dari jam kerja, makan, hingga tidur sekalipun. Sementara dunia kantor adalah keteraturan, masuk jam berapa, pulang jam berapa dan seterusnya.

Berita. Ini yang harus dikejar, akan terus dikejar-kejar, tanpa mengenal kita sedang berlibur, beristirahat, atau sedang asyik bersama sang kekasih pujaan hati. 

Kadang karena sudah mendarah daging (lebay ya hahaha), mengetik berita akan selalu dilakukan jika menemukan momentumnya. Saat asyik berkendara, ada peristiwa kecelakaan, naluri mengetik langsung jalan. 

Ketika berlibur, melihat pemandangan yang indah, naluri menulis berita langsung muncul. Berita dalam bentuk soft, feature, bukan hardnews. 

Aktivitas saya ini juga, bukankah naluri menulis berita?! 


Di Manapun Jadi Berita

Handhpone atau laptop dan sejenisnya, adalah bagian yang tak bisa terpisahkan dari wartawan. Gara-gara berita, kadang bisa menjadi asosial. Benarkah? Begini penjelasannya:

Ketika seorang wartawan berjalan, atau duduk bersama teman-teman atau saudaranya, lalu ada peristiwa atau pernyataan dari narasumber terpercaya yang mengharuskan ia membuat berita, maka ia akan bergelut di depan layar smartphone miliknya. 

Asosial bukan arti yang sebenarnya. Bukan berarti dia anti-sosial. Karena wartawan adalah seorang yang harus pintar bersosial. Dia dituntut untuk mampu mengenali dan memahami lingkungan tempat ia dimana ditugaskan. 

Kan saya libur? Sejak kapan ada kata libur dalam membuat berita? 

"Saya lagi liburan," atau "Saya lagi di pinggir jalan", bukan alasan untuk tidak membuat berita. Apalagi sebagai wartawan yang bekerja dalam dunia yang serba cepat, online.

Berikan wartawan ruang, space, di manapun, maka anda akan melihat wartawan bekerja. Di tempat teduh ber-AC? Alhamdulillah. Di pinggir jalan? Ayo ayo saja, kenapa tidak. 

Mengetik di pinggir trotoar di kawasan Menteng Jakarta
dalam acara pembubaran TKN
Pada suatu acara Presiden RI di ICE BSD beberapa tahun lalu, puluhan wartawan menunggu wawancara todong alias doorstop. Karena masih lumayan lama, jadilah ramai-ramai wartawan duduk selonjoran di lantai. 

Aneh? Yang jelas banyak mata memandang, dan mungkin mereka berbisik ke temannya, "Lihat mereka, duduk di sembarang tempat,". Yang berbisik itu adalah mereka menggunakan batik yang harganya di atas Rp1 juta. Area itu memang bukan tempat duduk, karena tempat orang berlalu lalang. Kadang ingin bilang, jangankan di tempat bersih seperti ini, bahkan di pinggir jalan raya pun, jadi tempat untuk duduk.

Untung pak PM-nya tak melarang kap mobilnya buat mengetik
Beberapa orang, nampaknya dari luar negeri, memilih berfoto dengan menampilkan baground wartawan yang duduk selonjoran menunggu Presiden keluar untuk diwawancara todong. 

Seorang teman juga pernah menulis berita di tempat dan waktu yang terbilang ekstrim. Dia telat bangun, sementara agenda pagi, pukul 09.00 WIB. Jam segitu tentu sangat pagi, karena juga harus bergelut dengan macetnya Ibukota. 

Dia baru jalan, saat agenda itu baru mulai. Dengan berbekal sedikit pernyataan dari narasumber yang diperoleh dari teman yang hadir duluan, ia mengetik berita. Tapi mengetik di jalan, sembari mengendarai motor seorang diri. 

"Pas macet gue sempatin ngetik. Di lampu merah (traffic light maksudnya) gue lanjutin,".

Comments