(Hari) Guru Kami Di Kampung

Seketika se isi kelas II-A hingga II-G berhamburan keluar di pagi itu. Tanpa komando, langsung memungut dedaunan yang jatuh karena dimakan usia. Beberapa sampah plastik bekas makanan kecil, juga nampak berada di antaranya.

Tahu kenapa kami, dari kelas II-A sampai II-G berhamburan keluar dan membersihkan halaman kelas? Karena dari kejauhan, nampak Pak Khalik. Kami memanggilnya Pak Helo.

Beliau berdiri di ruang depan ruang guru, menghadap ke lapangan yang dikelilingi kelas-kelas. Hanya dengan begitu, kami tanpa dikomando langsung bergerak. Pak Helo memang terkenal keras dan tanpa segan menampar.

Di ruangan, Pak Helo juga keras tapi disiplin. Hafalan sejarah, matapelajaran yang beliau ajarkan, harus benar-benar nyantol di otak kami. Dari situ, saya sendiri mengakui sangat menyukai sejarah setelah puluhan tahun dididik beliau.

Di kelas, saya masih ingat. Di antara tiga tempat duduk kami, ada dua orang yang membuat kegaduhan. Seketika, Pak Helo datang dan menampar mereka yang ribut, serta kami yang ada di dekatnya. Kenapa harus kami yang tak ribut ditampar juga? Saya mengerti kini. Kami punya tanggungjawab untuk mengingatkan, sebagai tetangga duduk terdekat.

Ah pelajaran itu.. Kini baru ku sadari..

H. Abdul Wahab namanya. Jenggot panjang dan tipis di dagunnya adalah ciri beliau. Itu mengingatkan pada sosok H. Agus Salim. Celananya juga cingkrang. Bukan, dia bukan guru agama. Beliau adalah guru matematika. Sebenarnya, matapelajaran yang tidak aku suka. Tapi di tangan beliau, tak bosan kami belajar itu.

Cara beliau mengajari matematika, benar-benar dari hati. Pak Wahab paham, tiga jam pelajaran itu membuat kami bosan. Maka saat melihat kebosanan kami, beliau mengalihkan dengan bercerita. Bercerita soal agama yang lebih sering. Ah inilah dakwah yang efektif. Beliau juga kadang bercerita soal sejarah, sejarah tempat kami bersekolah di SMPN 1 Madapangga, Kabupaten Bima NTB. Dulu sekolah ini bernama SMPN 2 Bolo.

Pak Tasrif. Dulu guru PPKN. Entah sekarang nama matapelajaran itu masih sama atau sudah diubah. Beliau mengajar saat kelas III SMP (Sekarang mungkin kelas 9). Cara belajarnya pun menarik. Membahas isu-isu kekinian. Saya masih terkenang. Saat itu, sedang proses Reformasi, sidang Istimewa MPR kalau tak salah. Sejak itu, ketertarikan saya pada dunia politik, terbentuk. Di kampus, politik menjadi bagian tak terpisahkan. Hingga kini bekerja.

Mereka adalah diantara sekian banyak guru kami di kampung, sebuah desa bernama Dena. Mereka mengajar dengan menambahkan nilai-nilai, yang kami pegang hingga kini. Walau dulu, fasilitas yang diajarkan ke kami terbilang minim. Buku-buku latihan kerja yang sudah bertahun-tahun, wajib dirawat untuk generasi di bawah kami. Entah kami generasi ke berapa sebagai pengguna buku lembar kegiatan itu.

Tapi nilai-nilai yang diajarkan mereka, kekal. Semoga beliau-beliau selalu dilimpahkan rezeki dan pahala, serta kesehatan. "Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa" begitu bait terakhir lagu Hymne Guru.

Selamat Hari Guru 2019.

Comments