Didi Kempot, Tinggalkan Amal Berlimpah


Berbicara kematian, pasti banyak yang ingin saat menghadap Sang Khalik dalam keadaan husnul khotimah. Meninggal ketika sedang melaksanakan ibadah misalnya, sering kali disebut meninggal dengan cara yang sangat baik.

Tentu kita punya keinginan yang baik seperti itu. Tetapi semua itu, hidup dan mati, adalah hak preogratif Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT.

Didi Kempot, dengan nama asli Dionisius Prasetyo, wafat diumur 53 tahun. Adik kandung pelawak almarhum Mamik Prakoso itu, lahir di Surakarta 31 Desember 1966.

Kepergian Didi Kempot, terlalu mengagetkan kita semua. Hari-hari sebelumnya beliau masih beraktivitas seperti biasa. Tuhan tidak memberikan aba-aba.

"Mas Didi Kempot, selamat jalan... Pembicaraan kita bertiga harus sabtu kemarin via tlp dgn Mas Kanang, Bupati Ngawi, tdk dapat kita wujudkan," tulis Seskab Pramono Anung dalam akun instagramnya @pramonoanungw.

Pria yang dijuluki 'the godfather of brokenheart' ini bagi saya, pergi dengan cara yang baik. Kenapa? Tidak ada yang mampu mengalahkan beliau dalam kegiatan donasi amal. Konser #Dirumahsaja yang ditayangkan di Kompas TV pada 11 April 2020 lalu, bisa dibilang sangat fenomenal.

Dalam waktu singkat, jumlah donasi yang berhasil terkumpul dari konser Didi Kempot itu mencapai Rp7 miliar. Jumlah ini didonasikan untuk membantu masyarakat yang terdampak. Disalurkan juga melalui sejumlah lembaga seperti Muhammadiyah dan NU.

Kebaikan lain yang mengiringi kembalinya Didi Kempot ke hadapan Sang Khalik, adalah lagu 'Ojo Mudik'. Lagu yang dibuat untuk mengimbau masyarakat agar tidak mudik karena dikhawatirkan membawa dan menyebarkan virus Covid-19, adalah amalan yang juga cukup besar. Pesan yang disampaikan mengena, disampaikan oleh seorang maestro yang bernyanyi dari hati. Ketika pesan itu benar-benar dari hati, maka yang menerima juga akan masuk ke hati.

Itu baru dua amalan saja yang terlihat. Maka bagi saya, kembalinya Didi Kempot sungguh sangat baik dan indah.

Pergi Saat Sayang-sayangnya
Siapa yang tidak sedih dengan kepergian Didi Kempot selamanya. Harus diakui, saat ini banyak yang sayang dengan beliau. Banyak yang mengidolakan beliau, dari segala penjuru, tak mengenal usia.

Tapi beliau kembali ke Sang Pencipta disaat kita sedang sayang-sayangnya. Di saat kita begitu menikmati pesan dari lagu-lagu yang beliau ciptakan. Kesedihan para Sobat Ambyar semakin jadi, karena beliau meninggal disaat pandemi Covid-19. Disaat kerumunan orang dilarang. Saya yakin, setelah ini semua berlalu, kuburan Didi Kempot akan ramai dengan peziarah, mereka yang telah menjadi bagian dari karya-karyanya.

Itulah kuasa Tuhan, Allah SWT. Kita tidak akan tahu kapan akan menghadap-Nya. Bahkan disaat kita sedang sayang-sayangnya, seperti kita lagi sayang-sayangnya sama Didi Kempot.

Karyanya Melampaui Batas
Ada dua ciri karya-karya almarhum. Yakni patah hati, dan lirik berhasa Jawa. Tapi lihatlah bagaimana batas-batas itu ditembus. Hanya seorang maestro, il fenomenal, yang mampu melakukan itu. Dan itu sudah tersematkan kepada Didi Kempot.

Lagu patah hati, membuat banyak orang bersedih. Tapi bagaimana jika lagu sedih itu dipadukan dengan hentakan campursari dan dangdut. Tentu saja orang akan diajak bergoyang.

Liriknya juga berbahasa Jawa. Saya pertama kali mendengar 'Stasiun Balapan' saat kuliah dulu. Karena baru pertama kali datang ke Jawa, sehingga saya menganggap itu spesial bagi mereka yang berasal dari Jawa. Awal-awal, saya tidak mengerti artinya.

Tapi terbersit dihati, kenapa lagu ini bisa sampai tembus dapur rekaman? Disiarkan oleh televisi? dan seterusnya dan seterusnya. Lihat lah lagu-lagu Jawa klasik, penikmatnya bisa dibilang ya mereka yang memiliki budaya dan pengalaman hidup dengan Jawa, dengan bahasanya. Mungkin semacam lagu daerah, yang kebetulan di Jawa dengan perkembangan teknologi yang sedikit lebih maju dari daerah-daerah lainnya di Tanah Air.

Tapi kemudian, belakangan ini lagu-lagu Didi Kempot bukan saja soal 'ini milik orang Jawa' atau yang berbahasa Jawa. Tapi lagu-lagu beliau sudah menembus sekat-sekat budaya itu. Seluruh Indonesia menikmati karya itu. Termasuk saya, yang bukan dari Jawa walau sempat menuntut ilmu beberapa tahun di tanah Jawa.

Didi Kempot juga menghilangkan sekat-sekat generasi. Lagu Jawa, klasik, pasti orang akan berpikir ini untuk generasi zaman old. Tetapi Didi Kempot membuktikan, bahwa lagu-lagunya justru digandrungi semua kalangan. Orang tua hingga generasi millenial, begitu menikmati dan mendalami mahakarya itu. Dari orang biasa, politisi senior hingga pejabat, larut dalam karya-karya itu.

Perjuangan Itu Tidak Instan
Karir Didi Kempot, hingga menjadi seorang maestro dan mendapat julukan 'the lord' itu, bukan instan apalagi diperoleh dengan mudah. Memang almarhum memiliki darah seni dari ayahnya. Tetapi perjuangannya sungguh tidak mudah.

Mengamen di Ibukota sejak 1985, adalah jalan terjal yang dilaluinya. Hingga baru akhir 1990-an, nama beliau mulai terkenal luas. Apa yang bisa kita petik? Ya beliau konsisten dalam menekuni karirnya itu.

Ada yang bilang begini. Ketika ingin menjadi sesuatu, maka gunakan energi dan kemampuanmu. Bukan hanya mengikuti trend yang berkembang. Karena justru kalian bisa terhempas lebih cepat, atau pensiun lebih dini. Tapi jika ditekuni apa yang dicita-citakan, maka kelak akan abadi. Itulah 800-an karya Didi Kempot akan menjadi abadi dalam kenangan generasi-generasi berikutnya.

Comments