Pesawat Pak Jokowi (1)

Sayap Pesawat Kepresidenan (foto: agusmbojo)

Dikira Tidak Turbulance

Dua hari ini, Pak Jokowi sebagai Presiden RI, mengunjungi dua lokasi bencana. Yaitu pada Senin kemarin 18 Januari 2021 ke Kalimantan Selatan. Bencana banjir bandang. Dan hari ini, Selasa 19 Januari adalah ke Sulawesi Barat, Mamuju. Yang diguncang gempa 6,2 SR dan menelan korban jiwa serta bangunan yang roboh.

Pak Jokowi dan rombongan menggunakan pesawat Kepresidenan RI. Baik saat ke Kalimantan Selatan kemarin dan hari ini, ke Sulawesi Barat.

Menarik kayaknya kalau bercerita pengalaman naik pesawat ini. Terutama mengenai turbulance, yang kerap menghantui saya dan tentu yang kerap menggunakan moda transportasi ini.

Pesawat Kepresidenan RI yang dianggarkan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY. Ditahun-tahun terakhir era beliau, pesawat itu selesai dan bisa digunakan. Langsung digunakan Pak Jokowi dan Pak JK setelah dilantik sejak 20 Oktober 2014 lalu.

Sekitar 2016, adalah momentum pertama kali saya berada di dalam pesawat Kepresidenan RI jenis Boeing 737-800 itu. Saat itu kunjungan kerja, kunker, akan dilakukan ke Ambon.

Awalnya, dijadwalkan jam 11.00 WIB pagi. Lalu diundur siang. Hingga akhirnya baru fix itu sore. 

"Akhirnya bisa melihat isi pesawat Kepresidenan,".

Kami wartawan, duduk di paling belakang, bagian ekor. Bersama-sama dengan puluhan Paspampres dan dari Sekretariat Presiden. Sebuah kertas ditempel di sandaran kursi, 'Sdr Agus Rahmat' menandakan itu adalah tempat duduk saya.

Saya sendiri bukan orang yang sangat berani berada di ketinggian hingga puluhan ribu kaki, tempat pesawat mengudara. Deg-degan selalu, apalagi kalau sudah terjadi turbulance, guncangan. 

Tapi dengan berada satu pesawat bersama Presiden, rasa itu sempat hilang. Ini mungkin pemikiran kolot saya, yang kadang kalau diingat lagi membuat senyum-senyum sendiri. Merasa menjadi orang paling bodoh.

Dalam hati saya bergumam, "Pesawat Presdien, di dalamnya ada Presiden, orang yang paling di jaga di republik ini, pasti akan sangat nyaman".

Bertolak lah pesawat itu, sore-sore dari Halim. Segelas jus kacang ijo (dan ini menarik kalau diceritakan khusus), membuka 'perkenalan' dengan isi pesawat tersebut. 

Kami bertiga duduk dalam satu deret kursi. Semua wartawan. Ada di depan juga. Kalau tidak salah, ada 5 wartawan yang ikut serta di dalamnya. Tempat duduknya biasa saja, seperti pesawat klas ekonomi, tidak bisa selonjoran layaknya kelas bisnis, walau ini pesawat Kepresidenan. Tapi itu di bagian kami, bagian ekor.

Beberapa menit mengudara, turbulance terjadi. Tidak lama, tapi lumayan. Saya yang awalnya mencoba memejamkan mata, lalu terjaga. 

"Ah kenapa pesawat Kepresidenan bisa turbulance? Bukannya jalur VVIP?". 

Gundah dan kecewa dari yang dibayangkan di awal bahwa pesawat ini akan mulus karena yang ada di sana adalah orang yang paling dijaga di Tanah Air (jangan tertawakan saya kalau sempat punya pikiran begini ya, hehe).

Makin ke bagian timur Indonesia, guncangannya semakin terasa kuat. Apalagi posisi kami di ekor, yang tentu sangat merasakan guncangan itu. Saya menjadi takut. Saya menjadi parno dan berpikir ini sama saja dengan naik pesawat komersil, nggak ada bedanya.

Keberanian yang tertanam di awal, sirna. Saya merasa seperti di pesawat komersil sehingga ketakutan yang semakin kuat, sempat menghantui. Seperti saya bukan naik pesawat Kepresidenan, tapi pesawat komersil.

Tiba di Ambon sudah hampir jam 20.00 WIT, karena jeda waktu dua jam dengan Jakarta. Usai acara, jam 11 malam waktu Ambon, kami langsung kembali ke Jakarta.

***

Saat ke Natuna, wilayah paling utara Tanah Air. Saya lupa tahunnya. Mungkin antara 2016-2017. 

Seperti saat ke Ambon, ke Natuna juga PP (Pergi Pulang). Berangkat pagi-pagi, dan kembali ke Jakarta jelang malam hari.

Agendanya cukup padat saat itu. Dari saat mendarat di Bandara Ranai, Natuna, sudah langsung di lokasi agedan Presiden. Hanya jam makan siang, yang kami bisa curi-curi waktu untuk sekedar merenggangkan badan dan tidak terkejar berita.

Siang menjelang sore, melakukan kunjungan ke Selat Lampa. Perjalanan menggunakan helikopter. Tentu heli Presiden dengan yang kami tumpangi, berbeda. Dan juga tidak semua wartawan bisa ikut. Beruntung saya diantaranya yang ikut heli itu. Tapi tetap deg-degan juga, karena ini pengalaman pertama naik heli.

Gerimis mulai turun. Tapi perjalanan tetap berlanjut. Justru hujan deras turun saat kami mendarat di sana. Salah satu yang akan dibangun adalah coldstorage, gaweannya Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Kami kembali ke Ranai saat cuaca masih hujan. Waktu itu jam 17.00 WIB lewat. Menunggu beberapa saat, hingga hampir jam 6 sore kami lepas landas kembali ke Halim, Jakarta.

Badan masih agak basah karena kehujanan di Selat Lampa tadi. Dan lelah tentu saja. Masih ada ketikan berita yang menjadi tanggungan. 

Di atas pesawat yang baru mengudara itu, saya dan beberapa teman wartawan (terutama online), mendengarkan kembali wawancara dengan Presiden dan Menteri KKP saat itu, mentranskripnya, lalu mengetik berita. Semua itu dilakukan di atas pesawat. Agar saat landing, bisa langsung di kirim ke kantor.

Udaranya cukup membuat khawatir. Turbulance yang terbilang cukup kuat, terjadi di pesawat Kepresidenan tersebut. Beberapa kali guncangan, terjadi. Dalam posisi kami rasanya masih tidak terlalu jauh dari sekitar Natuna.

Sambil transkrip wawancara dan mengetik berita, turbulance menyertai. Tapi kali ini, saya merasa pasrah. Tidak terlalu takut. Mungkin karena sudah lelah juga.

Beberapa jam lepas landas, pesawat terbang dengan mulus. Mungkin cuaca sedang bersahabat. 



Comments