Perempuan Yang Mengejutkan

Dalam Kegugupan Ku (1) 


Aku terhentak. Mataku tak mampu memandang wajah yang melebihi bahu ku. Persis di samping ku, sebelah kanan. Dua orang di sebelah kiri ku, aku sangat mengenalnya. Tapi kamu siapa?

Aku lanjutkan pandangan lurus ke depan. Melihat ratusan orang, yang duduk dan berdiri di halaman asri Sekolah Menengah Pertama yang sudah dua tahun ini jadi tempat menimba ilmu. Barisan depan adalah kepala sekolah dan guru-guru senior. Di deretan belakang, adalah guru-guru muda, dan makin ke belakang adalah siswa dan siswi, dari kelas 1 sampai kelas 3.

Kedua teman ku di sebelah kiri, ku tengok nampak tersenyum senang. Siapa yang tidak senang? Keduanya adalah juara umum pertama dan kedua untuk kelas 2 sekolah kami itu. Ada enam kelas, dan keduanya memiliki nilai tertinggi pertama dan kedua dari seluruh anak-anak kelas 2.

Ian dan Rian. Terlihat benar bangganya kedua orang ini. Mereka bersaing dalam mencapai yang terbaik, dan inilah hasilnya. Bukan soal hadiah, tapi prestice. Karena yang dapat juara umum itu akan ditanya-tanya oleh teman, oleh tetangga kampung, "Anak siapa sih itu bisa pintar jadi juara?".

Bagi kami di kampung, prestice kadang derajatnya ada di puncak. Maka ketika itu diperoleh, banggalah dia dan keluarganya. Bahkan akan menjadi bahan omongan di setiap sudut gang. Siapa yang tak bangga.

Tapi pikiran ku tak sampai ke sana. Tak pernah berpikir, "Wah bapak ibu di rumah pasti bangga aku juara umum ketiga,". Tidak, itu tidak terlintas. Walau kedua teman di kiri ku, si sang jawara dan runner up ini, dari senyumnya saja sudah bisa ku bayangkan apa yang akan terjadi di sudut gang dekat rumah mereka berhari-hari ke depan.

Hey, siapa kau? Ku lirik, tak menemukan mata mu. Hanya bahu mu. Kau terlalu tinggi, untuk kita bisa saling melirik. Aku malu, takut kau marah jika ku tatap wajah mu sambil mengangkat muka ku. Ah biarkan lah, mungkin lain kali ku tatap wajah mu itu. Yang penting kini ku tahu, kau di kelas itu.

***


Aku duduk di pojok, pura-pura membaca buku catatan. Sesekali memandang seisi kelas yang heboh, riuh. Ada yang kejar-kejaran, di tengah itu siswi-siswi asik berbincang entah siapa yang mereka gibahin sekarang. Di pojok sana, gerembolan cowok bercerita soal kuatnya mereka membawa kayu dari hutan ke rumah, melewati sungai deras, tanjakan curam.

Tapi pikiran ku tidak ke catatan ku yang sedikit susah dibaca itu. Aku masih penasaran, siapa kamu? Tak begitu jelas ku tatap dari jendela kelas. Kelas mu memang terlihat jelas dari jendala tempat ku duduk. Tapi tak tampak jelas wajah mu. Terhalang bunga-bunga itu.

"Dia itu anak baru, pindahan dari Provinsi Tindar,"

Sayup terdengar di telinga ku. Ku selidiki sumber suara itu. Ah, di depan persis, berjarak dua meja dari tempat ku duduk. Ku pastikan suara itu benar. Ku pastikan, apakah mereka membicarakan orang yang aku pikirkan itu!?

Menyelinap ku hampiri mereka. Empat orang asik mendengar, seorang lagi semangat bercerita, suaranya tidak terlalu keras.

"Hayo gibahin siapa?"

Lima orang ini kaget. Ada yang berteriak latah. Dia selalu begitu, jadilah kerap kali menjadi bahan candaan teman-teman sekelas ini.

Tebakan ku benar. Mereka sefrekuensi dengan ku. Bangku kosong di sebelah, aku tarik guna berkhidmat mendengarkan cerita teman yang sangat lancar bak komentator bola itu. Pura-pura aku cengegesan, biar tidak tampak kalau aku cukup serius mencerna segala informasi A1 tersebut.

***


"Anak-anak rencanaya mau nonton biola di kampung sana. Mumpung besok libur. Ikut ya," Ahmadun mengajak ku, biar ada temannya. 

"Kenapa gak ikut anak-anak itu?" tanya ku heran, tak biasanya.

"Anak-anak itu mau berantem. Nyari musuh yang waktu hajatan tahun lalu mukulin si Awan. Katanya udah balik dari Malaysia,".

"Kamu gak ikut bantu Awan?" tanya ku.

"Udah banyak orang, cukup lah itu," katanya enteng.

Kami kemudian berjalan kembali ke rumah. Jalanan ini biasanya sangat ramai. Benhur berjejer di pinggir jalan, mengantar siswa dan siswi sekolah yang pulang. Mereka dari berbagai kampung. Karena ini adalah SMP satu-satunya di kawasan itu, dan ini yang terdekat. 

Sementara siswa yang berasal dari kampung sekolah kami, kebanyakan jalan kaki, termasuk saya dan Ahmadun. Sekitar satu kilometer, dari jarak sekolah ke rumah. Di perjalanan, kami pun berbicang soal guru-guru, soal ditampar sama guru, soal ada yang suka teman sekelas, atau soal anak-anak SMA sebelah yang tiba-tiba sering main ke sekolah kami.

"Memang mau ngapain anak-anak SMA itu ke sekolah? tanya ku penasaran. Ahmadun hanya mengangkat bahunya dan menggelengkan kepala.

***


Walau tidak terlalu terang, puluhan anak muda berkumpul di depan masjid besar. Ada yang bersandar di pagar yang sudah miring hampir roboh. Ada juga yang duduk di bale-bale depannya. Kebulan asap rokok menambah riuh suasana. Saya diantara mereka itu. Berbagai macam obrolan, cekikikan, atau sekedar duduk sembari menyeruput kopi.

"Itu Awan sudah datang, ayok berangkat,". Iwan memberi komando, membuang rokok yang sudah hampir habis. Lalu membakar batangan rokok lainnya. 

Kopi buru-buru dihabisi sampai tersisa hanya ampasnya. Membuang gelas plastik ke tempat sampah. Bergerombol kami berjalan, dengan style yang cukup mentereng menurut gaya anak muda. Celana jeans, baju kaos bertuliskan macam-macam, ada juga yang baju berkerah tak terkunci tapi di dalamnya ada kaos dengan tulisan inggris. Entah mereka paham atau tidak.

Ada juga yang berkaos dengan wajah Che Guavara. Lalu topi kupluk berwarna gelap. Sementara celana jeansnya sangat panjang, bahkan harus terinjak karena tidak digulung. Sementara di jari, bersemi rokok yang sesekali dihisap dan asapnya menguap dari mulut mereka.

Di ujung kampung, rumah-rumah warga mulai jarang. Hanya satu atau dua dengan jarak yang cukup jauh. Sementara rimbun pohon bambu yang ujungnya bahkan sampai miring ke pinggir jalan. Saat angin berhembus, menampilkan irama yang cukup unik. Dedaunannya yang rimbun berirama sendiri, gesekan batangnya pun melahirkan irama tersendiri. Kami bukan seniman yang pandai menikmati itu. Hanya rasa angker yang terasa. Tapi tidak ada ketakutan, kami ramai.

Sisa-sisa bongkahan kayu masih tersangkut di pinggir jembatan. Sore tadi, banjir besar datang setelah hujan turun hampir tiga jam lamanya. Banjir yang selalu membuat kami bahagia, karena sungai di dekat masjid itu akan selalu ramai.

Biasanya, usai hujan reda, kami langsung memadati pinggir sungai, tak jauh dari masjid di kampung itu. Yang jadi tontonan adalah melihat warga yang baru pulang dari persawahan di seberang sungai, melintasi banjir. Mereka mengambil ancang-ancang sejauh sekitar 100-200 meter dari titik seberangnya, tempat kami berkumpul. Mengingat arus yang cukup deras. Panci besar atau rakit dari batang pisang, kerap kali digunakan untuk membantu tubuh agar tidak tenggelam. Tapi semuanya pintar berenang.

Sementara kami, ritual yang selalu dilakukan adalah menandai batas kenaikan air. Kami akan menancapkan kayu kecil di batas air pinggir kali itu. Jadi ketahuan, air naik seberapa cepat, dan kapan mulai berangsur surut. Sore-sore yang menyenangkan, hiburan yang asyik. 

Awan, Iwan dan puluhan teman lainnya cukup cepat melangkah menuju tempat hiburan musik biola. Dua kampung harus kami lalui. Mungin jaraknya lima kilometer. 

"Kita santai saja ya. Rokok lah ini, daripada sepi," Ahmadun memegang tangan saya dan menyerahkan sebatang rokok bermerek gudang itu. Aku bukan perokok, tapi suasana begini biasanya suka ikut. Katanya biar dianggap lelaki sejati. Dia mampir ke toko seberang jalan, membeli sebungkus rokok karena yang diberi ke aku adalah batangan terakhir.

Beberapa kali batuk, yang membuat Ahmadun tertawa lepas. Dia sukses membuat ku menghirup asap nikotin beberapa miligram yang terkandung di dalamnya. Dia juga ketawa melihat orang belajar rokok hingga tersedak. 

"Semoga naik kelas jadi perokok," ejeknya yang membuat dia makin tertawa. Sementara saya, semakin batuk.

Rombongan sudah semakin jauh meninggalkan kami. Tak terlihat lagi ekornya. Mungkin mereka sudah sampai. Sementara saya masih tersedak batuk. Anehnya, rokok itu tetap ku genggam dan terus mencoba menghisap dan mengeluarkan asapnya. Kali ini batuknya sudah tidak separah diawal.

"Mau ke mana id, luk, kok buru-buru?"

"Pulang dun. Itu pada berantem di sana. Kacau," jawab Said.

"Daripada jadi sasaran, kita pulang aja," lanjut Lukman.

Aku dan Ahmadun sempat terdiam sesaat. Kami tahu, siapa yang berkelahi itu. Kami awalnya sudah curiga melihat dua orang dari arah berlawanan, tergesa-gesa dengan langkah yang dipercepat. Karena terlalu gelap, kami tidak bisa memastikan dari kejauhan.

"Pulang aja lah yuk. Benar kata Lukman," ajak ku ke Ahmadun. Sebentar berpikir. Mungkin dia ingin ke sana, membantu teman-temannya yang lain. Tapi rasanya sudah susah, karena pasti sudah berhamburan entah ke mana. Siapa juga musuhnya, pasti tidak tahu juga. Atau terburuk, bisa jadi yang dicari kini adalah teman-teman sekampung Awan cs. Ya kami lah termasuk teman-teman sekampung itu. Bahkan kami berbarengan, walau tertinggal jauh.

Kami pun memutuskan putar balik. Jam menunjukkan sudah pukul 10 malam. Asyik berjalan dan bercerita. Sebatang lagi saya hisap, yang pertama sudah habis. Walau asapnya tidak selalu saya masukkan lewat mulut dan keluar lewat hidung. Beberapa kali setelah dihisap, langsung dikeluarkan lewat mulut. Maklum, pemula.

Ahmadun masuk ke sebuah kios yang tampak masih buka. Terdengar suara televisi dari jalan itu. Aku menunggu di depan, pinggir jalan. Tidak terlihat jelas ke dalam toko itu, karena dihalangi bunga-bunga yang agak tinggi. Suasananya juga gelap. Lampu penerang hanya di dalam toko itu. Jadi hanya terlihat samar dari pinggir jalan.

"Lho kok Andar merokok?"

Suara merdu, halus dengan bahasa Indonesia yang fasih tanpa dialek daerah itu, membuat ku shock. Sosok itu!? Perempuan itu!? Membuat ku terhentak kedua kalinya, setelah pengumuman juara tingkat sekolah kami itu. Ada rasa senang yang tak terhingga. Aku belum kepikiran melangkah untuk bisa bertemunya. Masih fase mencari tahu siapa namanya. Tapi dia sudah jauh melangkah. Dia tahu nama ku, oh my god!!!

Tak terlihat jelas dari luar tempat ku berdiri, sampai kemudian dia menghampiri, beridiri di depan. Kami berhadap-hadapan, hanya bunga-bunga yang lebat itu pembatasnya. Mata kami saling beradu. Semakin khatam teoriku bahwa dia sangat cantik, fix.

Dia tinggi, jadi bukan halangan baginya dengan keberadaan bunga-bunga itu. Wajahnya putih bersih, rambut lurus panjang. Ciri khas perempuan yang lama tinggal di kota lalu datang berlibur ke kampung halamannya. Sementara aku, belum bisa berkata-kata. 

'Kok dia tahu nama kua ya' gumam ku dalam hati. Sementara baru setengah rokok yang habis dan masih ada di tangan.

Dia tersenyum pada ku. Bibir tipisnya itu semakin memperlihatkan aura kecantikannya. Mata kami kembali saling menatap beberapa saat. Aku gemetar, memandang mahluk Tuhan yang sangat cantik ini. Hanya terpaku, tak bisa mengeluarkan kata-kata. Dia menatap ku, lalu sesaat pandangannya beralih ke rokok yang masih menyala di tangan.

"Kamu kok merokok?" pertanyaan sama dilontarkannya. Nadanya kecewa. Ya Tuhan, baru pertama aku berhadapan langsung dengannya, dan aku telah membuatnya kecewa?! Apa-apaan aku ini. First impression sudah membuatnya kecewa. Awal yang buruk nampaknya. Aku kecewa pada diriku dan kebodohan ku merokok. Tapi aku juga senang impian ku melampaui harapan.  

"Gak Arda. Dia baru megang rokok malam ini aja, bukan perokok," Ahmadun tampil membela, layaknya pahlawan di injuri time. Dia juga menjadi penawar kebuntuan, setelah aku hanya terdiam dan tak bisa berkata-kata karena perempuan ini. Arda. Ternyata itu namanya. 

'Tapi dia tahu nama ku?'. Hati ku bergejolak. Rokok tadi langsung aku buang, mendengar perintahnya agar tidak merokok. Aku tiba-tiba nurut, patuh, layaknya santri ke kiyainya. Aku tak ingin first impression yang buruk terus berulang. Sebisa mungkin ku perbaki.

Aku ingin bilang, aku bukan perokok, cuma karena malam ini saja. Tapi itu tak tersampaikan. Justru Ahmadun yang banyak berbicara tadi. Sebelum dia minta izin untuk pamit dan hendak tidur.

"Tadi dia sengaja lho nungguin kamu," Ahmadun tersenyum senang. Membuat ku semakin tak karuan. 

"Kok bisa nungguin? Tahu dari mana dia?"

"Tadi kan pas berangkat aku beli dulu. Tapi gak ada dia, cuma bibinya yang jaga. Aku kasi tahu bibinya kami ke pertunjukan biola. Nyari Arda. Tapi kata bibinya kalau jam 8 atau jam 9 malam itu dia sudah tidur," cerita Ahmadun.

Aku semakin dibuat gelisah. Kalau tadi sekitar jam 9 malam dia sudah tidur dan kembali bangun menunggu di toko, artinya dia benar-benar sengaja menunggu ku? Itu yang terus ku pikirkan. Ada rasa mustahil. Dia cantik, bahkan bunga desa saat ini. Pintar juga, karena menjadi juara kelas. Sementara aku!? 

(bersambung)

Comments