Masjid Dena Jelang Perang 1910

Masjid Dena, menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat dan pemerintahan desa, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Masjid Dena (sebelum bernama Baitussyuhada), adalah saksi hidup sebuah perjuangan membela kemanusiaan, menjaga kesucian agama dari rongrongan penjajah. Juga memperlihatkan perjalanan panjang dengan adab yang tinggi dan agung.

Merangkum dari buku 'Sekilas Perang Dena 1910' karya H.Ahmad H Djakariah, jelang Perang Dena (1910), masjid itu sudah ada. Tidak ada tanggal pastinya. Tapi dituliskan, sekitar 1908, masjid sudah berdiri dan sudah menjadi pusat dakwah dan membahas kondisi masyarakat dan politik.

Apalagi di tahun-tahun tersebut, situasi politik Kerajaan Bima yang dipimpin Sultan Ibrahim, sedang tidak stabil. Terutama menyangkut kedatangan Belanda. Penjajah memaksakan kehendak untuk memeras rakyat, dengan ancaman membumi hanguskan jika ada upaya penolakan.

Pertemuan di Pena Pali, tidak menggoyahkan pendirian Dena, untuk menolak kedatangan penjajah Belanda dengan segala aturan yang menciderai rasa kemanusian dan agama. Seperti aturan blasting. Blasting (ada juga menyebut belasting) adalah penerapan pajak secara paksa di negeri jajahan. Namanya juga pajak yang dipaksa, tentu hanya menguntungkan penjajah. Serta sangat sangat merugikan rakyat, terutama masyarakat Dena.

Gelarang saat itu, La Kao Ama Huse, dengan sejumlah tuan guru dan ulama Dena seperti H.Usman Abu Jenggo dan H.Abdul Azis, kukuh pada pendirian yakni tidak akan tunduk dengan aturan itu. Walau beberapa kali Sultan Ibrahim mengirimkan utusannya. Walau ancaman membumi hanguskan Dena oleh Belanda, sangat disadari oleh pemerintah Dena dan para tuan guru tersebut.

Dua kali utusan sultan gagal membujuk ulama dan pemimpin Dena, agar mereka tunduk pada hasil Pena Pali. Apa yang diharapkan? Yakni agar masyarakat Dena mengakui dan membayar blasting ke Belanda. Lalu menerima kedatangan Belanda dan tidak boleh dilawan.


Adab Luhur ke Pemimpin

Ulama dan umarah Dena, tetap memperlihatkan keadaban yang tinggi terhadap Sultan Bima. Meski permintaan itu ditolak mentah-mentah. Bahkan pendirian yang dipegang teguh oleh pemimpin Dena, sangat tidak sejalan dengan titah Sultan.

Meski tegas menolak perintah sultan tersebut, pemerintah Dena dan ulama, tetap memperlihatkan hormatnya kepada sultan. Walau perbedaan sikap yang sangat tajam dalam menyikapi kebijakan itu. Rasanya, inilah nilai demokrasi yang cukup tinggi. Tetap mempertahankan prinsip yang tidak bisa dikompromikan, di satu sisi tetap menghormati sikap pemimpin di atasnya.

"Titah baginda Sri Sultan semuanya kami junjung tinggi, beratnya kami pikul bersama, dan ringannya jangan dikata. Titah Baginda Sri Sultan kali ini oleh hamba dan sekalian penduduk Dena yang tiada berdaya ini dirasa sangat berat,".

Itu sebagian kalimat penolakan yang disampaikan Abu Jenggo terhadap utusan Sultan Bima saat itu. Sebuah penolakan, tetapi dengan adab yang tinggi. Bersikap berseberangan bukan berarti kita harus mengutuk hingga membabi buta menyumpahinya. Tetapi ternyata ada cara yang sangat santun, tanpa menanggalkan prinsip.


Masjid Dena Jelang Perang

Tak bisa disanggah lagi, masjid tentu berfungsi sebagai tempat beribadah, utamanya shalat. Apakah bisa digunakan untuk hal lain? Saya tak ingin masuk ke ranah itu. Tapi mari kita lihat kembali sejarah. Masih dalam buku 'Sekilas Perang Dena 1910'.

Saat pertama kali utusan Sultan Bima datang ke Dena untuk membawa pesan sultan, memang diterima oleh Ompu Dena (setara kepala desa saat ini). Para ulama, tuan guru Dena, sedang tidak di kampung. Mereka berdakwah ke beberapa wilayah seperti H.Usman yang ke Ngali.

Setelah semua ulama kembali, Ompu Dena kemudian mengundang untuk bermusyawarah. Yang dibicarakan adalah tentang pesan Sultan Bima. Musyawarah digelar di Masjid Dena. Masjid menjadi tempat untuk mencari keputusan terbaik, menyangkut permintaan Sri Sultan tersebut.

Di Masjid Dena itulah, musyawarah terjadi. Tidak ada catatan bagaimana suasan musyawarah di masjid tersebut. Bagaimana sikap-sikap para tuan guru dan peserta, menyikapi permintaan Sri Sultan Bima tersebut.

Tetapi rasanya kegigihan mempertahankan prinsip, tetap dipegang teguh ulama dan umarah dalam proses musyawarah yang dilakukan. Dan memang benar, hasilnya pun tetap bahwa ulama dan pemerintah Dena, mempertahankan keyakinan dan prinsip yang dipegang. Menolak blasting, menolak Belanda datang dengan segala risiko yang siap ditanggung.

Alasannya, karena dengan membayar maka itu berarti takluk pada penjajah. Itu yang ditolak dalam musyawarah di Masjid Dena tersebut. Di situ juga dihasilkan, jika memang resikonya adalah Belanda akan menyerang, pemerintah dan alim ulama Dena siap berperang. Perang Sabil mereka namakan.

Bahwa peran Masjid Dena tidak hanya sampai di situ saja. Saat hari-hari jelang Belanda datang, pemerintah dan para ulama Dena juga mengatur strategi. Itu semua dibicarakan di Masjid Dena. 

Nah, bagaimana kelanjutannya, kita sambung lagi pada tulisan berikutnya. Perlu juga mengenal siapa saja ulama, para pendekar, hingga suasana saat perang terjadi.


*Agus Rahmat 

Putra Dena, jurnalis di Ibu Kota. Penulis buku "Di Balik Layar Jokowi; Kisah Wartawan Istana Kepresidenan".

Comments