Yuk Bicara Bima Mau Dibawa ke Mana, Bukan Siapa Selanjutnya

Pemilu adalah pesta rakyat. Ya, itu yang selalu dipahami. Walau kadang rakyat hanya dijadikan sekedar lumbung suara dimomentum tertentu terutama jelang pencoblosan (pilkada). Tetapi setelahnya? Silahkan anda jawab sendiri.

Bima (baik kabupaten dan kota), terletak di sisi paling timur Pulau Sumbawa. Bagian paling timur Provinsi NTB. Potensinya? Sebenarnya sangat besar. Apakah itu sumber daya alamnya, apalagi manusianya. Letak Bima juga punya nilai strategis, berada di tengah-tengah antara barat dan timur.

Kalau kita lihat ke belakang, sejarah Bima/dana Mbojo, saat VOC melakukan ekspansi ke timur Nusantara terutama Maluku dan sekitarnya, Bima menjadi tempat transit, peristirahatan. Hingga akhirnya menjadi tempat jajahan juga.

Saat ini, sebenarnya Bima tetaplah menjadi wilayah yang strategis. Dia tetap bisa menjadi penghubung barat ke timur. Bahkan untuk destinasi-destinasi wisata, Bima juga seharusnya bisa menjadi 'jalan baru' pengembangan destinasi wisata. Banyak yang bermimpi ingin ke Labuan Bajo. Bukankah dekat dengan Bima? Banyak yang ingin ke Tambora, dengan segala situs bersejarah baik itu gunungnya hingga kawasan di sekitarnya. Bima bisa menjadi jembatan penyambung bagi mereka yang ingin ke sana.

Apa saja potensi lainnya? Terlalu banyak jika ingin kita bedah, kita kupas satu per satu. Yuk, kita coba fokus pada dua atau tiga dulu. Di saat wilayah lain sudah bergerak untuk mempersiapkan dirinya menyambut perubahan ke depan, Bima tentu harus jauh lebih siap. Daerah ini punya potensi dan sumber daya yang melimpah. Selain letak geografis yang menguntungkan. Maka kita terlalu menyempitkan diri untuk melihat masa depan Bima jika hanya berbicara pada sosok. Padahal sumber daya kita jauh melimpah ruah. Hanya belum tergarap dan belum dijalankan lantaran miskin visi dan misi.

Ini bukan pekerjaan mudah. Ini juga bukan pekerjaan yang bisa tuntas dengan satu atau dua periode kepemimpinan kepala daerah, tidak. Ini adalah kerja berkesinambungan, berlanjut. Tetapi harus dimulai.

Maka momentum pilkada, pemilihan pimpinan daerah di Bima, rasanya tidak adil jika kita selalu berbicara sosok A yang layak memimpin. Atau sosok B yang layak memimpin. Terlalu sempit jika kita hanya bicara itu. Tetapi mari kita gali, ingin dibawa ke mana Bima ke depan. 

Jika hanya berbicara sosok, maka ke depan kita hanya terkungkung pada persoalan oligarki. Dia lagi dia lagi, orang dia lagi orang dia lagi. Maka stagnasi pembangunan karena miskinnya visi dan misi pemimpin, akan terus terjadi. Stagnasi pembangunan karena miskinnya action, langkah nyata pemimpin, akan terus terjadi. Padahal Bima harus bergerak jauh lebih cepat, melepaskan diri dari seremoni dan birokratis yang tidak sehat.

Ketika sistem dibangun, maka siapapun yang masuk ke dalam itu akan ikut sistem. Tetapi jika hanya membangun sosok, sangat mungkin terjadi sebaliknya. Atau, pun jika sosok itu bisa baik tetapi dia punya limitasi, batas masa jabatan kepemimpinan. Maka sepeninggalnya, akan menyesuaikan dengan selera dan cara kepemimpinan sang pemimpin baru.

Itu yang kasat mata sebenarnya bisa terlihat. Belum lagi persoalan tak kasat mata tepai nyata. Masalah budaya. Budaya erat kaitannya dengan masyarakat. Sudahkah budaya Bima tergerus? Nilai-nilai agama yang terintegrasi dalam kehidupan sosial budaya masyarakatnya bagaimana? Itu tak kasat mata, tapi kok rasanya menjadi persoalan serius.

Maka, momentum pilkada di Bima, menurut saya bukan saja berbicara siapa sosok yang pas. Apakah incumbent akan melanjutkan periode kepemimpinannya atau 'menyerahkan' estafet kepemimpinan ke sanak famili saja, tidak. Itu terlalu sempit dan rasanya membuat kita susah untuk maju. Terkungkung hanya pada persoalan internal, tanpa melihat perubahan yang begitu cepat di luar sana, maka kita akan susah maju dan berkembang. Jangan harap bisa maju jika kepemimpinan hanya sekedar seremoni lima tahunan, tanpa ada gebrakan. 

Jangan sampai kita akhirnya hanya bisa mengutuk diri sendiri melihat yang lain melaju dengan pesatnya. 


Agus Rahmat

Jurnalis, penulis buku "Di Balik Layar Jokowi, Kisah Wartawan Istana Kepresidenan".

Comments