"Gus, siang ini ada acara? Atau masuk kerja?"
"Nggak bang, kebetulan libur,"
"Makan siang di rumah ya,".
Di ujung telepon, kakak sepupu mengajak santap siang. Kami memang kerap kali berkumpul. Walau ada 'forum' resmi seperti arisan, tapi itu kadang tak cukup. Kadang dari kumpul-kumpul itu lahir ide dadakan. Dari kumpul itu juga bisa ngobrol ngalor ngidul hingga larut malam.
Sore hari sebenarnya ada janji dengan tukang pintu. Kebetulan lagi ada renovasi kecil-kecilan di rumah. Tapi tawaran makan siang itu terlalu menggoda dan ngangenin. Akhirnya, janjian dengan tukang kuundur besok, dan untung orangnya tak mempermasalahkan.
Dalam benak saat perjalanan ke rumah kakak sepupu itu, terbayang sajian khas Bima, dana Mbojo (tanah Bima). Walau sudah lewat jam 12 siang, sengaja saya sendiri tak makan dulu karena ingin perut ini benar-benar lapar. Tidak ingin juga mengganjal perut dengan makanan ringan. Benar-benar karena ingin perut ini lapar maksimal.
Pasti ada doco, pasti ada ayam bakar ala Bima, dan sajian khas lainnya. Ah tak sabar. Ku geber mobil walau agak macet, agar segera tiba. Bahkan sengaja tidak menyantap jajanan yang dibeli istri walau perut lapar. Agar nanti benar-benar menikmati sajian khas Bima itu dengan perut yang sangat lapar. Itulah kenikmatan.
Hampir sejam (karena Depok sedang macet parah), kami akhirnya tiba. Benar saja, sajian santap siang itu sedang akan disajikan di teras rumah. Benar ada doco. Yang ini doco sia dungga, yaitu perpaduan irisan bawang kecil-kecil ditambah garam dan irisan cabe. Ada juga plecing kangkung. Dan tak lupa tentu ayam bakarnya.
Doco sia dungga adalah paduan sambal yang pas untuk ayam bakar. Teringat saat di kampung, sambal ini cukup simpel untuk di bawa ke sawah atau saat kami ingin rekreasi, healing kata orang kota. Cukup bawa ayam (baik yang belum disembelih atau sudah), lalu garam, bawang beberapa siung, cabai, dan juruk nipis jika ada. Bawang diiris kecil-kecil, cabai pun diiris kecil, pun sama dengan jeruk nipis. Lalu semua itu disatukan, dicampur, dan diberi rasa asin dari garam.
Untuk di kampung, jenis makan ini sudah sangat mewah, istimewa. Tapi tak jarang juga cukup membawa asam yang sudah matang, garam, cabai, tomat, bawang. Lalu saat di sawah memancing belut. Belut-belut itu lalu dibakar begitu saja. Setelah matang, dicampur dalam racikan 'oi mangge'. 'Oi mangge' adalah semacam kuah yang terdiri dari air dan dicampur dengan asam matang yang diperas-peras. Tingkat keasamannya menyesuaikan selera. Lalu potongan bawang dan cabai, serta garam. Makan di salaja (balai-balai) atau di pinggir sawah dengan udara yang sejuk, menambah kenikmatan makanan ini.
Kadang jika dipikir kembali, apa yang dimakan saat itu di kampung halaman, biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Tetapi disaat merantau jauh, bertahun-tahun, maka makanan itu menjadi sangat istimewa. Maka ketika makanan kenangan itu tersaji di tempat perantauan, disitulah rasa kangen itu terobati.
Memang tidak afdhol rasanya jika hanya sekedar makanan saja. Tidak mendatangi langsung kampung halaman. Namun dengan sajian makanan khas ini, sudah cukup memberi rasa tenang, mengisi ruang kangen dalam hati yang lama kosong.
Santap siang itu menjadi sangat lahap, sangat emosional bagi saya sendiri. 2010 ke Ibukota untuk mencoba peruntungan lagi, dan baru pulang ke kampung halaman pada 2017. Rencana yang matang di tahun 2020 untuk pulang gagal karena pandemi. Pada 2021 pun gagal, angka COVID-19 di akhir tahun melonjak. Sementara pada 2022, kondisi belum siap.
Jadi, makan siang di rumah kakak sepupu cukup memberi obat kangen yang telah membuncah lama. Walau instan, tapi instannya bertahan lama. Teknologi juga sedikit membantu rasa kangen itu. Semoga setelah ini, ada kesempatan untuk menjenguk langsung tempat tumbuh sedari kecil, tempat kenakalan bocah kecil hingga duduk dibangku SMA. Wallahualam...
Agus Rahmat
Penulis buku: Di Balik Layar Jokowi; Kisah Wartawan Istana Kepresidenan
Comments