Masyarakat dan ulama Dena berlatar Masjid Baitussyuhada, markas Perang Dena 1910 |
Sejarah mencatat, perang yang terjadi di Dena antara masyarakat dengan pasukan Belanda adalah jihad. Seperti penggunaan simbol agama antara lain bendera berlafazkan "Laa ilaha Illallah Muhammadar Rasulullah". Panglima perang juga dipercayakan ke H Usman atau Abu Jenggo, salah satu tuan guru/ulama Dena saat itu. Perang Dena juga dimaknai oleh ulama dan pemimpin desa saat itu, sebagai Perang Sabil, sebagai petunjuk dari agama. Maka para pasukan yang berjuang adalah pasukan sabil.
Dalam buku 'Sekilas Perang Dena' yang ditulis H.Ahmad H.Djakariah, terinci bagaimana terjadinya perang tersebut. Menjadi perang sabil, karena para tuan guru dan pemerintah desa, yang saat itu Kepala Desa Dena dijabat La Kao Ama Huse, menganggap kedatangan Belanda untuk memaksakan balasting. Yaitu memungut pajak secara paksa, dengan memeras masyarakat Dena. Maka menyerah ke Belanda yang kafir tidak bisa dilakukan dan wajib untuk dilawan.
Para pejuang tersebut, benar-benar membawa semangat agama yakni Islam. Penggunaan simbol-simbol Islam dalam perjuangannya, terlihat jelas. Masjid Dena, yang kini diberi nama Masjid Baitussyuhada, adalah markas utama. Nama Baitussyuhada pada masjid raya Dena itu adalah untuk mengenang para syuhada yang gugur pada perang Dena tersebut. Mereka dimakamkan di sana. Informasinya makam-makam itu sudah banyak yang tidak diketahui lagi setelah berbagai renovasi dan pelebaran masjid.
Meski simbol dan semangat juang menggunakan nafas Islam, tetapi keberadaan pasukan kebal dan zimat, juga digunakan. Dengan harapan, sekuat tenaga agar Belanda tidak masuk. Meski para tuan guru dan ulama di Dena sadar, itu sangat sulit.
Pasukan Kebal
Kedatangan Belanda dengan pasukannya ke Dena, tidak serta merta. Ada proses-proses negosiasi atau persuasif. Terutama ini dilakukan oleh Sultan Ibrahim, yang saat itu memimpin Kerajaan Bima. Bujukan sultan agar Ompu Dena (kepala desa) dan alim ulama menerima Belanda baik-baik, ditolak. Tiga kali utusan sultan datang, para ulama dan pemimpin Dena, tetap menolaknya. Orang Dena tidak ingin menyerah begitu saja pada penjajah Belanda. Alasannya tadi, karena Belanda juga adalah kafir maka perang agama harus digunakan.
Informasi dari sumber lain menyebutkan, kabarnya pasukan Belanda yang datang ke Dena adalah pasukan elit. Yang memang sengaja didatangkan oleh penjajah tersebut. Maka bisa dibayangkan, dengan persenjataan mereka yang lebih moderen dan juga pasukan elit yang tentu terlatih, akan melawan pasukan Dena. Pasukan Dena hanya masyarakat biasa, tidak terlatih dalam hal perang, serta tidak ada senjata moderen.
Setelah utusan Sultan Ibrahim untuk ketiga kalinya gagal membujuk untuk tidak melawan Belanda, Ompu Dena dan alim ulama langsung sadar bahwa Belanda dalam tempo dekat ini akan menyerang Dena. Maka perlu dilakukan persiapan, sehingga ketika Belanda datang, bisa dilawan. Syukur-syukur bisa diusir. Walau lagi-lagi, di atas kertas rasanya sulit.
Maka musyawarah dilakukan. Bertempat di Masjid Dena. Sebagai persiapan untuk mengantisipasi Belanda datang menyerbu Dena.
"Untuk itu, Ompu Dena dan segenap alim ulama mengadakan musyawarah di Masjid Dena. Semua alim ulama dikumpulkan. Semua orang kebal dan tahan makan besi, dipanggil". Begitu kutipan dalam buku 'Sekilas Perang Dena' yang ditulis H.Ahmad H.Djakariah.
Dalam musyawarah di Masjid Dena tersebut, para pasukan kebal ini benar-benar menjadi garda terdepan pasukan. Mereka yang paling pertama berhadapan dengan pasukan Belanda. Mereka ditempatkan di pintu masuk kampung.
"Di sekitar timur ditugaskan pasukan kebal. Di sana adalah pintu masuknya musuh. Daerah ini dipimpin oleh Sini ama Tima, Lede ama Ibu, Ompu Barahi, dan dibantu oleh beberapa orang. Mereka bermarkas di Doro Lebo dan Sori Ngonco untuk menunggu kedatangan Belanda melewati Sera Mananti,".
Itu adalah salah satu poin kesimpulan dari rapat di masjid, markas perang. Ompu Dena dan alim ulama menyusun strategi peperangan yang benar-benar rigit. Penempatan pasukan hingga perlawanan yang dilakukan jika Belanda berhasil masuk kampung, juga dipersiapkan. Segala sumber daya dimanfaatkan. Satu yang diyakini, tidak boleh menyerah kepada kafir Belanda. Mengingat 100 persen warga Dena adalah Islam.
Untuk peralatan perang, berbagai senjata digunakan. Bukan senjata api seperti yang dimiliki Belanda. Tetapi senjata tradisional seperti keris, bedil tumbuk, golok, parang hingga tombak.
Nah, pada peralatan-peralatan perang tersebut, juga diselipkan azimat. Bukan azimat yang negatif. Tetapi ini bernafaskan Islam.
"Dalam peperangan harus menggunakan azimat yang dituliskan pada sebuah perisai yang terbuat dari kulit kerbau. Azimat itu berbunyi; “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Ya Jabbar, Ya Kahhar, Ya Hannan, ya Mannan, Ya Dayyan, Ya Sulthan”.
“Laa Ilaha Illallah Muhammadar Rasulullah”. Di samping perisai, setiap orang yang berperang harus meneriakkan yel “Allahu Akbar”."
Penulis: Agus Rahmat
Jurnalis di Jakarta, putra Dena
Comments