CERITA SMA (Bagian 2); Lagu India Menggema hingga Harus Air Matang



Kami tumbuh besar di sebuah desa yang punya kekhasan dalam menikmati musik. Lagu dangdut dan lagu-lagu dari Negeri Jiran, Malaysia, justru menjadi kiblat kami. Maka saat itu, jangan tanya soal Dewa 19, Padi, Sheila On 7, atau yang saat itu cukup digemari Westlife. 


Tapi kalau ditanya Fazal Dath, Ona Sutra, Rhoma Irama, Mansur S, Hamdan ATT, Manis Manja Group, pasti di luar kepala kami. Atau grup-grup dari Malaysia seperti Arrow, Slem, Stings, atau lagu-lagu yang tidak pernah kami lihat wujudnya tapi cukup familiar di telinga, selalu kami nyanyikan di tongkrongan, atau ketika menunggu guru saat pergantian jam pelajaran sekolah. Dulu tampilan visual lewat VCD atau player lainnya, tidak ada. Hanya dari kaset, dan liriknya biasanya ada di sampulnya.


Saban hari menunggu guru datang di kelas, saat kami masih duduk di SMPN 2 Bolo (kini SMPN 1 Madapangga, seiring pemekaran kecamatan), lagu-lagu Malaysia adalah santapan yang selalu menjadi penghibur. Ketukan di meja adalah iringan musiknya. Saya tidak tahu persis, kenapa justru lagu-lagu Malaysia begitu populer di kampung kami. Mungkin saja karena beberapa orang kampung kami yang mengadu nasib sebagai TKI di Malaysia yang membawa lagu-lagu tersebut.


Pasca Reformasi 1998, bisa dibilang kampung kami sedikit 'terisolasi' dari perkembangan hiburan dan informasi. Saat peristiwa 1998, saya sendiri masih suka menyaksikan situasi Tanah Air dari berita di televisi. Cukup membekas waktu itu, adalah RCTI lewat Seputar Indonesia yang menyajikan berita-berita. Peristiwa Reformasi cukup teringat bagi saya pribadi. Dari situ ketertarikan terhadap politik, mulai terbangun. Di kampung kami, untuk menangkap siaran-siaran selain TVRI, harus menggunakan parabola. Sayangnya, memasuki awal tahun 2000, perlahan-lahan siaran tv-tv swasta di parabola mulai hilang. 


Masih ingat saat itu, yang terakhir adalah RCTI. Ketika itu masih duduk di bangku SMP kelas 2. Untuk menonton pertandingan sepakbola Liga Italia, selalu diacak. Jadinya, untuk mengetahui hasil pertandingan, saya baru bisa update keesokan harinya. Harus menyaksikan tayangan One Stop Football yang dilanjutkan dengan siaran khusus soal liga Italia, saya lupa nama programnya.


Setahun sudah kami menempati kost berupa rumah yang cukup besar itu, yang terletak di wilayah Kota Bima. Transportasi umum masih belum terlalu ramai kala itu. Apalagi transportasi pribadi. Jadi, setiap kami yang hendak sekolah di Kota Bima, mau tidak mau ya harus kost. Ada juga yang memilih tinggal di rumah keluarganya yang ada di Kota Bima. Beda mungkin kalau sekarang, masih bisa bolak balik menggunakan motor, seiring dengan perkembangan transportasi. 


Kost kami ketambahan 2 teman. Sebenarnya banyak teman kampung yang ke kost kami ini. Tetapi bukan menetap. Jadinya tidak ikut urunan bayar pertahun. Mereka datang untuk main-main, dan tak jarang menginap. Tambah 2 teman penghuni kost, tentu menambah keriuhan. Belum lagi teman-teman dari sekitar kost kami, yang kerap main di sana. Kost kami menjadi tempat teraman bagi mereka untuk merokok. Maklum, belum mendapat 'SIM' merokok, jadilah sembunyi-sembunyi di kost kami. 


Erwin dan Ardi. Keduanya penghuni baru yang sekampung dengan kami, datang dan menambah riuh kamar besar kami. Tiga kasur di dalamnya. Ada 2 yang berukuran besar, dan ada 1 yang kecil. Jadi Erwin pun tak perlu untuk membawa tempat tidur lagi. Karena 2 kasur yang cukup besar itu, bisa ditiduri lebih dari seorang.


Bawaan kampung, ketika kami di dalam kost maka akan terdengar nyanyian sumbang dari penghuninya. Erwin termasuk diantaranya yang terbilang 'rajin' menyanyi. Dari Kuch Kuch Hota Hai hingga lagu Bollywood (India) lainnya yang susah dihafal judulnya, ia nyanyikan. Selain suara sumbang, tak semua lirik terlafaz dengan sempurna.


"Jangan sering-sering nyanyi India di sini. Di sini tidak laku lagu India begitu," seorang teman mengingatkan.


Tak peduli dengan itu, lagu-lagu India tetap menggema di dalam kost kami yang atapnya hampir menyentuh kepala itu. Radio masih menjadi barang yang langka ketika itu, atau masih menjadi barang mewah bagi kami dari kampung. Ada radio milik cucu dari pemilik rumah kost kami. Dia di kamar depan, tetapi tidak selalu dibuka. Kami baru bisa mendengarkan musik, radio, ketika dia sudah di kamar itu. Biasanya pagi-pagi, sambil minum kopi dan menghisap rokok.


Grup-grup musik legend seperti Dewa 19, Padi, Sheila On7, bahkan baru kami tahu saat sekolah di kota. Saya sendiri baru tahu ada Westlife, saat pertama kali mulai aktivitas di SMA. Setelah teman sekelas begitu mengidolakan boyband asal Irlandia tersebut. 


Layaknya anak kost, makan dan minum seadanya. Bekal kami saat pulang kampung, adalah sejinjing kardus. Di dalamnya berisi ikan asin, ikan kering, bawang, tomat, dan perintilan lainnya. Kadang beras juga di situ. Tapi sering kali beras kami bawa terpisah. Sekarung ukuran sekitar 50 kg, lalu ditambah kardus. Jadi begitu turun dari bus di terminal, satu tangan memegang kardus, sedangkan beras berada di pundak. Stok beras itu bisa untuk 1-2 bulan atau lebih. Jadi saat pulang kampung pekan berikutnya, tak perlu lagi membawa beras.


Stok air matang selalu disiapkan Erwin. Dia satu-satunya penghuni yang tidak bisa minum air mentah. Tentu beda dengan kami. Cukup ke belakang, nimba air di sumur, diamkan sejenak biar sisa-sisa debu turun, lalu ambil dengan gelas dan minum. Dinginnya alami ketika sampai di tenggorokan.


Namun lambat laun, kehidupan anak kost seperti hal yang lain, tentu harus beradaptasi. Seperti tidak selalu bisa makan enak. Sebab pulang sekolah tetap harus masak dulu. Entah itu nasi dan lauk atau lauk saja. Itupun kadang lauknya adalah ikan teri, ikan asin. Sudah enak kalau sempat tumis kol.


Seiring berjalan waktu, proses adaptasi mulai terjadi. Lagu-lagu India hingga dangdut, mulai beralih ke genre pop. Kami mulai familiar dengan 'Sephia' SO7, atau 'Kangen' Dewa 19, pun dengan 'Sobat' Padi. Kuch Kuch Hota Hai nya Sharukh Khan dan Kajol, mulai hilang dari pendengaran kami di kost. Erwin tak lagi menyanyikan lagu itu. Ini juga seiring dengan mulai ramainya teman-teman di kampung itu yang bertandang ke kost kami tersebut. Mereka membawa gitar, juga buku lagu-lagu lengkap dengan kunci gitarnya.


Perubahan terjadi juga dari kebiasaan minum air matang. Mungkin Erwin bosan dan capek harus selalu memasak air. Atau dia harus berhemat karena minyak tanah di kompor merek Hot berwarna abu-abu miliknya selalu cepat habis?!

Tapi rasanya dua faktor itu penyebabnya.

Bersambung kisah selanjutnya....

Comments