Kopi, Rokok dan Pagi



KOPI menjadi pelengkap yang sempurna, kala matahari perlahan-lahan naik. Azan subuh telah berlalu, jemaahnya sudah kembali ke rumah dan kos untuk memulai aktivitas. Atau mungkin ada yang kembali tidur, masih lelah.


Dingin masih menghinggap menyusuri sela pori-pori. Lampu luar mulai dimatikan. Asap perlahan keluar dari kopi kental di gelas putih di atas meja. Dia tidak lagi berwarna hitam. Tercampur dengan sedikit kental manis. Sebenarnya ini soal selera. Ada yang bertahan dengan warna hitamnya, ada yang memadukan dengan susu. Ada yang menaburkan gula, ada yang bertahan dengan pahitnya kopi.


Hari ini cukup cerah. Penjaja jajanan pasar di sepanjang jalan di bilangan Pasir Putih, Sawangan Kota Depok, terlalu menggiurkan. Walau sempat terlewati, karena pesonanya membuat setir motor diputar lagi. Semenjak kawasan ini mulai ramai dengan perumahan baru, aktivitas ekonomi pun bergeliat. Beda ketika awal-awal ke sini, 2015 lalu, kawasan ini masih sangat sepi.


Kopi, Rokok dan Aktivis

Jika dihitung, rasanya lebih sering ngopi daripada makan nasi. Itu hitungan saat masih kuliah, masih aktif di organisasi. Saat itu, saya lebih aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), salah satu organisasi otonom Muhammadiyah selain IPM, Pemuda Muhammadiyah, dan Nasyiatul Aisyiyah (NA).


Pagi hari, tidak sarapan. Awalnya tidak terbiasa. Lama-lama harus membiasakan diri. Ini salah satu strategi berhemat. Makan nasi baru siang hari.


Pagi itu, kopi sudah di depan mata. Kopi menjadi minuman pembangkit semangat kala memulai aktivitas hari itu. Saat akhir-akhir kuliah di Universitas Muhamadiyah Malang, saya lebih sering menginap di kontrakan teman-teman di wilayah Sengkaling Malang. Perumahannya tepat berada di depan Taman Rekreasi Sengkaling, yang saat ini sudah menjadi milik Muhammadiyah Malang. Dulu, di sini menjadi mess Arema. Beberapa kali melihat Elie Aiboy asik bermain catur. Pernah juga melihat Kurnia Sandi, sang kiper Arema saat itu.


Di kontrakan itu, banyak yang ikut nimbrung. Jadi semakin ramai. Mereka juga adalah aktivis IMM. Dan diantara kami, ada seorang yang kalau meracik kopi, sangat enak. Aku abadikan dia dalam tulisan di sini (Peracik Kopi Hebat di Renaissance)


Aktivitas ngopi juga kerap dilakukan siang hari. Saat di kampus misalnya. Dulu, ada 2 kantin di UMM. Yakni kantin Asri dan kantin Rektorat. Kantin Asri agak lebih 'elit', persis di belakang gedung perpustakaan. Kantin Rektoran lokasinya di bawah Gedung Rektorat, tepat di depan danau atau yang mengarah ke Gedung Kuliah Bersama II dan III.


Bagi kami yang aktivis kere, ke Kantin Asri adalah pilihan yang sulit. Terlalu besar biaya yang kami harus keluarkan kalau santap makan di sana. Cukup memesan kopi adalah pilihan satu-satunya. Jadi kumpul-kumpul aktivis membahas berbagai strategi dan persoalan organisasi di Kantin Asri, bisa lebih santai dengan hanya ngopi saja. Lain hal kalau ada yang traktir.


Ketika malam hari, aktivitas ngopi lebih sering dilakukan. Apakah itu diskusi, rapat, lobi-lobi dengan anak IMM fakultas lain atau dengan teman-teman organisasi ekstra lain, atau sekedar ngopi bareng teman-teman kuliah. 


Segala aktivitas ngopi itu, tentu saja ditemani dengan rokok. Rokok dan kopi adalah pelengkap, penyempurna satu sama lain. Merokok tanpa kopi bisa saja. Tapi seperti kurang klimaks. Begitu dengan kopi, tak akan enak diseruput bila di antara jari jemari tidak mengapit batangan rokok.


Berani Merokok Sampai Berhenti

Saya termasuk orang yang takut sama bapak. Bapak orangnya keras, membuat saya menjadi sungkan. Termasuk soal merokok. Sejak SMA dan 3 tahun kos di kota, saya seorang perokok. Sempat berhenti karena cita-cita ingin masuk Polisi. Tapi kembali merokok karena tidak dapat izin ikut tes polisi.


Saat diantar kuliah ke Malang, saya tidak berani terang-terangan merokok di hadapan beliau. Walau saya haqqul yakin, beliau tahu kalau saya merokok. Saat teman satu SMA ketemu di penyebarangan Pototano-Kayangan (Sumbawa ke Lombok) dan menawarkan rokok, saya tidak mengambilnya. Sungkan, ada beliau di depan saya.


Begitu pun ketika kuliah dan sempat pulang ke kampung saat lebaran. Saya masih belum berani merokok di hadapan beliau. Baru berani merokok setelah habis taraweh, jalan-jalan keliling kampung bersama teman-teman.


"Kenapa tidak berhenti?" 

"Kan uang bulanan saat kuliah sangat kecil? Kalau berhenti kan bisa sangat hemat, buat makan juga?"


Pertanyaan-pertanyaan itu selalu muncul. Bukan tidak ingin berhenti, tapi masih susah untuk langsung melepasnya. Berbagai terapi yang dibisikkan, juga butuh anggaran. Ya sudah, sekalian tetap merokok.


Rokok dan kopi semakin lancar, setelah sudah bekerja. Penghasilan ada walau tidak banyak. Tidak perlu lagi berpikir kalau beli rokok nanti bisa makan apa. Dengan penghasilan itu, merokok sudah bukan menjadi halangan lagi. Bahkan masih bisa beli rokok, ngopi pun tidak melihat harga lagi, makan bertambah, begitu juga cemilannya.


Pagi-pagi berangkat dari tempat tinggal ke lokasi liputan. Sengaja pagi, agar ada waktu untuk nyeruput segelas kopi dan membakar beberapa batang rokok, sambil santai menikmati pagi dan melihat para pegawai berdatangan ke gedung Balai Kota Jakarta saat itu.


Sekitar 2011 (atau 2012, lupa-lupa ingat), saya berhenti merokok. Seingat ku, saat itu baru tiba di Balai Kota Jakarta, lalu ditelepon redaktur. Dia memerintahkan kalau besok hari saya sudah meliput di DPR RI. Ada rasa kesel. Mengingat liputan di Balai Kota ini baru.


Besoknya, ke DPR. Di sana kenalan dengan teman-teman baru, lingkungan baru. Uniknya, ketika di sana, saya sudah berstatus bukan perokok lagi. Padahal, kemarin masih ngebul dan menghabiskan hampir 3 bungkus rokok berwarna putih dan kecil itu. Sementara di DPR RI, saya tiba-tiba bersih dari aktivitas rokok. Padahal semua teman-teman wartawan terutama yang laki-laki adalah perokok. Cerita lengkapnya baca di sini (Unik, Cara Saya Berhenti Merokok)

Comments