Peran La Kao Ama Huse di Perang Dena 1910, Model Pemimpin Ideal Dena?

Ilustrasi Perang Dena 1910/ Image: AI


Siapa kenal sosok La Kao Ama Huse? Lalu, kira-kira siapa namanya aslinya? Sejarah hanya mencatat nama Gelarang alias Kepala Desa Dena pada sekitar 1910 adalah La Kao Ama Huse.

Sosok La Kao Ama Huse, muncul dalam sejarah Perang Dena 1910. Buku sederhana yang diketik dengan mesin tik manual, dan ada beberapa coretan karena ketikan yang salah, dengan judul ‘Sekilas Perang Dena 1910’ karya H.Achmad Djakariah, memperlihatkan perang penting La Kao Ama Huse tersebut. Mari kita bahas point-pointnya, yang bersumber dari buku itu:


1.Berprinsip dan Merakyat

Kondisi di Bima pada masa 1900-an, mulai dilirik Belanda, penjajah, sebagai salah satu sumber penghasilan mereka. Dulu, Bima kerap menjadi persinggahan saat penjajah masih fokus untuk mengeruk rempah-rempah di Timur seperti Maluku.

Karena itulah, penjajah memaksa Sultan Bima untuk menerapkan belasting (pajak yang merugikan rakyat). Mereka membuat aturan yang memaksa, mengharuskan rakyat menyerahkan hasil panen seluruhnya ke penjajah.

Bila satu musim panen diambil, bisa terbayangkan butuh berapa waktu lagi untuk masyarakat saat itu kembali panen. Kelaparan sudah pasti terjadi. Maka saat pihak kesultanan mengumpulkan para pemimpin level kecamatan dan desa (bila dikonteks sekarang) yang disebut perjanjian Pali Pena, Gelarang Dena La Kao Ama Huse, yang menolak.

Penolakan ini tentu dengan pertimbangan yang jelas masuk akal. La Kao Ama Huse adalah pemimpin Dena. Dia dipilih menjadi pemimpin karena masyarakatnya sadar sosok ini bisa menghadirkan kesejahteraan rakyat. Dengan keinginan Belanda yang amat merugikan rakyatnya, La Kao Ama Huse tanpa ragu menolak itu.

Risikonya pasti dia tahu. Dalam sistem monarki ketika itu, rasanya sulit diterima oleh akal bila ada bawahan yang berani melawan atasan. Tetapi kita akan melihat sikap ‘membangkang’ terhadap sri Sultan Bima itu bukan karena ego La Kao Ama Huse. Tetapi sikap itu diambil mempertimbangkan hajat hidup orang banyak, hajat hidup dou Dena.


2.Ahlak dan Etika saat Berseberangan Dengan Atasan

Di atas sempat disinggung, rasanya sulit mempercayai dalam sistem monarki, ada bawahan yang menolak perintah pimpinan tertingginya. Tapi sikap La Kao Ama Huse justru tidak disikapi oleh kesultanan dengan kekuatan militer. Bahkan Sultan mengirimkan utusan untuk membujuk, dengan berbagai cara, termasuk cara-cara pendekatan kultural. Diplomasi dikedepankan pemimpin tertinggi di Bima saat itu, dibandingkan menggunakan cara-cara yang diktator.

Sikap La Kao Ama Huse dan para ulama Dena lainnya, tak kalah berahlak dan mengedepankan etika. La Kao paham kenapa sultan mengamini paksaan Belanda. Situasinya memang tidak mudah bagi kesultanan. Tetapi dengan rendah hati, La Kao Ama Huse dan segenap stakeholder di Dena meminta izin untuk tidak mematuhi keinginan penjajah tersebut.

Selain La Kao Ama Huse, Abu Jenggo atau H.Usman, menerima perwakilan sri Sultan yang ketiga kalinya datang ke Dena. Terhadap permintaan Sultan Bima itu, dijawab dengan beberapa poin yang intinya seluruh elemen di Dena tidak bisa menerima Belanda. Dua poin terakhir ini juga menarik:

“... Karena itu, perkenankanlah permohonan hamba atas nama segenap penduduk, agar niat yang baik dari Sri Sultan dapat dipikirkan lebih matang lagi. Kalaupun Belanda terpaksa masuk di negeri hamba, maka dengan segala kemampuan yang ada pada diri hamba dan segenap penduduk akan mencoba mempertaruhkan nyawa. Masyarakat Dena akan melawan dengan semboyan Perang Sabil”. 

“Yang kedua, hamba berharap agar belasting dan pungutan berupa apa saja janganlah dipungut oleh Belanda. Tetapi sudilah pungutan itu ditangani langsung oleh Raja”.

Melihat ini, rasanya kita sekarang perlu meniru kembali. Cara diplomasi sebagai satu bangsa, perlu menjadi cara utama dalam membahas perbedaan dalam forum mbolo weki. Cara-cara ini rasanya lebih bagus ketimbang tapa ncai.


3.Masjid jadi Pusat Pergerakan

Setelah menyadari keputusan untuk menolak kehadiran Belanda berimplikasi akan diserang, maka sebagai pemimpin Dena, La Kao Ama Huse mulai mempersiapkan kemungkinan terburuk. Kemungkinan itu adalah akan diserang oleh Belanda. Waktunya? Entah kapan.

Masjid Dena (sekarang bernama Masjid Baiytussyuhada), menjadi titik sentral membangun kekuatan. Sebagai tempat ibadah, masjid juga sebagai tempat membangun kekuatan, mbolo weki atau musyawarah mufakat, bahkan saat Perang Dena 1910 masjid itu adalah markas utama.

Tidak ada catatan apakah dulu sudah ada kantor desa. Kalau pun tidak ada, itu berarti masjid memang menjadi episentrum dalam membangun kekuatan melawan penjajah. Seluruh elemen masyarakat, tidak hanya para Tuan Guru tapi juga unsur lainnya di masyarakat seperti yang kebal senjata, juga dihadirkan untuk ikut dalam mbolo weki. Sampai pada teknis bagaimana menghadang Belanda, bagaimana strategi peperangan di kampung, hingga siapa-siapa saja dan di posisi mana saja para pejuang ditempatkan. Itu dibahas di masjid.

Sekarang, Belanda sudah jauh, tidak menyerang kita lagi. Tapi ada ‘serangan-serangan’ lain yang itu menggoyahkan sendi-sendi bermasyarakat dan beragama, di Dena. Menghidupkan masjid dengan berbagai aktivitas, rasanya adalah cara yang bisa ditiru seperti yang dulu dilakukan para Tuan Guru dan Gelarang La Kao Ama Huse jelang Perang Dena 1910. 

Jangan sampai masjid hanya ramai pada ibadah-ibadah wajib saja. Tetapi tidak ada aktivitas bermanfaat lainnya digelar di masjid. Makin miris lagi bila masjid tidak diisi oleh generasi muda, tapi hanya oleh generasi tua saja.


4.Libatkan Ulama

Kita kerap menyebut, ulama dan umaroh. Ya, dua unsur ini adalah sisi penting dalam pembangunan suatu bangsa. Ulama, Tuan Guru, adalah benteng nilai-nilai dan religisutas masyarakat. Sedangkan umaroh adalah pemimpin dalam lingkup umum, termasuk hubungan tata pemerintahan hingga kesejahteraan rakyat.

La Kao Ama Huse, sukses menggabungkan kedua elemen penting ini. Ketika utusan sri Sultan Bima datang pertama kali untuk membujuk agar Dena menerima Belanda, La Kao Ama Huse tidak bisa memberi keputusan karena para Tuan Guru sedang tidak di Dena, banyak yang berdakwah ke luar kampung saat itu.

Dalam setiap mbolo weki hingga persiapan untuk membentuk pasukan menghadapi serangan Belanda, La Kao Ama Huse juga selalu melibatkan para Tuan Guru. Ancaman yang berdampak pada masyarakat, berdampak pada aqidah masyarakat Dena, dihadapi dengan kolaborasi ulama dan umaroh.

Saat ini, musuh penjajah tentu tidak ada. Tapi ada musuh-musuh yang tak tampak tapi riil ada. Salah satunya tentu saja narkoba. Tidak cukup untuk mengandalkan penegakan hukum pada persoalan ini. Penting untuk melibatkan seluruh elemen masyarakat, pemerintah desa hingga para ulamanya.

Sejarah dulu dan sekarang tentu tidak sama. Tapi setidaknya sejarah adalah blueprint yang bisa dijadikan pedoman untuk ke depan bagi generasi-generasinya. Kita tidak bisa melihat sejarah sebagai kisah yang statis. Tapi sejarah harus dilihat sebagai pelajaran untuk mengambil langkah strategis ke depannya, termasuk di Dena. 


Wallahualam.


Penulis:

Agus Rahmat
Instagram: @agusmbojo

Comments