Aktivis tak melulu bicara demonstrasi, demokrasi, pemerintahan, korupsi, Karl Marx hingga sosialisme lainnya. Menonton film sebagai hiburan dalam rangka menepi dari hiruk pikuk aktivisme, juga adalah bagian dari itu. Dalam hal ini, aktivis di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Renaissance FISIP Universitas Muhammadiyah Malang sekira antara 2003-2008.
Tulisan ini adalah sebuah pengalaman, sebuah cerita sisi lain dari kehidupan aktivis IMM Renaissance pada masa sekira tahun-tahun itu. Termasuk di dalamnya adalah saya pribadi. Saya masuk UMM pada 2003 dan lulus pada 2008. Ikut DAD (Darul Arqom Dasar) IMM pada 2003, menandakan resminya saya dan teman-teman lain yang ikut serta, sebagai kader IMM.
Di balik kehidupan aktivis dengan sekelumit aktivitas seperti pemiluraya, perebutan lembaga intra dengan teman-teman organisasi lainnya, hingga aktifitas di IMM Malang yang juga kami aktif di dalamnya, ada sisi lain yang rasanya penting diungkit kembali.
Karena tulisan ini diunggah tahun 2025, maka sedikit gambaran bagaimana kami menikmati aktifitas menonton film saat periode 2003-2008, saat masih aktif sebagai mahasiswa. Untuk menonton film (selain bioskop), adalah melalui DVD. Ada rental kaset film di Jetis Malang saat itu. Selain itu, ada juga film yang kami tonton dari tayangan stasiun televisi.
Jewel In The Palace
Ini adalah film drama Korea. Kami menyebutnya sebagai “Film Janggem” yang kami ucapkan, tapi spell aslinya adalah “Dae Jang Geum”. Dulu belum bisa googling langsung untuk mencari dengan cepat karena harus ke warnet terlebih dahulu.
Film ini mengkisahkan seorang Jang Geum, perempuan yatim piatu yang hidup di era dinasti Joseon. Dari kecil, ia sudah hidup di dapur, membantu juru masak lainnya. Drama serial ini saat itu ditayangkan oleh Indosiar. Drama yang populer dan berseri pada 2003-2004. Tapi kami menyaksikan film ini sekira tahun 2005/2006. Saat itu, komisariat (sekretariat) IMM Renaissance di Tlogomas gang 15 A, belakang pusat perbelanjaan Revolusi (saat itu).
Inti kisahnya, selain sosok Jang Geum yang cantik terutama setelah dewasa, kisah hidupnya yang membuat kami, aktivis, makin kesengsem. Sebab dari dia seorang juru masak hingga kemudian menjadi dokter (saat itu tabib). Juga kisah cintanya dengan salah satu pendekar di sana.
Serial drama ini, sejujurnya banyak mengganggu aktivitas rutin dan hobi kami. Hampir setiap sore, kami selalu main futsal di kampus, di parkiran mobil dekat masjid AR Fachruddin. Ada beberapa tempat di sana. Dan ini sudah menjadi “agenda wajib” sebenarnya. Kehadiran Jang Geum ini, kerap membuat tarik ulur apakah menonton kelanjutannya di Indosiar, atau memilih adu futsal. Ingat, dulu belum ada youtube yang tayangannya bisa kita tonton secara delay.
Tak Biasa
Film ini genrenya komedi. Pemeran utamanya adalah Duta SO7 (Akhdiyat Duta Modjo). Sedangkan aktrisnya diantaranya adalah Melania Putria. Secara umum, tokoh Abi (Duta) ini jatuh cinta pada Nadya yang diperankan Melania. Pendekatan dilakukan, tapi Abi patah hati karena Nadya ke Perancis.
Dia kemudian berkunjung ke rumah kakeknya, di pedesaan yang cukup dingin dengan nuansa kebun teh. Dari logatnya, sepertinya di daerah Jawa Barat. Di sana Abi jatuh cinta pada seorang perempuan juga. Ia yang awalnya malas-malasan karena patah hati, tiba-tiba bersemangat karena ada sosok Ratna, si gadis desa.
Sebenarnya, cerita menariknya bagi kami adalah kisah-kisah lucunya. Seperti saat kakeknya membangunkan Abi dengan menyebut siapa yang tidak mencari rezeki di pagi hari maka rezekinya akan dipatok ayam.
Lalu ada dialog antara Abi dengan salah satu pemuda di sana, soal band mereka. Ketika ditanya apakah dia vokalis? atau gitaris? atau basis? dan dijawab bukan, Abi bingung.
“Saya pegang janjinya anak-anak”. Ternyata itu maksudnya adalah managernya.
Tidak sampai di situ. Saat band itu dipertemukan dengan Abi, ternyata genrenya adalah underground. Tentu saja musiknya keras, cadas, yang bukan selera si Abi, sangat jauh malahan.
Seperti apa kisah-kisah lucu lainnya, mungkin masih bisa ditonton...
Denias, Senandung di Atas Awan
Kisah perjuangan seorang anak dari salah satu suku di Papua, bernama Denias. Ia ingin sekolah tinggi. Sekolahnya hancur karena gempa. Tak cukup di situ, pak guru satu-satunya harus kembali ke Jawa karena istrinya sakit. Sedangkan yang dapat bersekolah di kota hanya anak kepala suku, yang di film itu menjadi musuh Denias.
Ada beberapa yang membekas bagi kami dan menjadi perbincangan sehari-hari dari film tersebut. Seperti sebutan nama “Maleo”. Dalam film itu, Maleo adalah seorang tentara yang ditugaskan di wilayah Denias bermukim, yang diperankan oleh Ari Sihasale. Nama “Maleo” bahkan kami sematkan untuk beberapa orang di IMM Renaissance, termasuk mereka memanggil saya dengan sebutan “Maleo” sampai sekarang.
Lalu, ada sosok lain dalam film tersebut yang bernama Enos. Enos sudah di kota. Enos bertemu Denias saat mencuri roti dari pembeli di salah satu minimarket. Denias menyaksikan aksi Enos itu, lalu Enos mengajak Denias untuk sembunyi. Roti itu dimakan bersama.
Ada salah satu dialog yang lucu, dan hampir selalu kami tiru. Saat Denias melihat billboard besar dengan gambar sapi. Ia ingin tahu apa itu. Enos menjawab, “Itu babi” dengan menirukan suara babi.
Konon katanya film ini diangkat dari kisah nyata, seorang putra Papua yang berhasil mengenyam pendidikan tinggi. Walau banyak halangan yang ia dapatkan, baik itu soal geografis, hingga adat.
Comments